BANGKOK – Kepolisian Thailand menangkap seorang perempuan yang dijuluki “Miss Golf” karena diduga memeras sejumlah biksu dengan menggunakan foto dan video hubungan seksual. Menurut pernyataan kepolisian, perempuan tersebut telah menjalin hubungan intim dengan sedikitnya sembilan biksu dan menjadikan rekaman tersebut sebagai alat pemerasan.
Laporan BBC pada Jumat (18/07/2025) menyebut bahwa dalam tiga tahun terakhir, perempuan itu berhasil mengumpulkan sekitar 385 juta baht atau setara Rp193,5 miliar dari praktik ilegal tersebut. Ketika aparat melakukan penggeledahan di rumahnya, ditemukan lebih dari 80.000 foto dan video yang digunakan sebagai bahan pemerasan terhadap para korban, sebagaimana diungkapkan juru bicara Kepolisian Thailand.
Skandal ini menjadi tamparan keras bagi institusi Buddhisme di Thailand yang selama ini dihormati dan dijaga reputasinya. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah biksu di negara tersebut memang beberapa kali tersandung kasus hukum, mulai dari pelanggaran moral hingga kejahatan narkotika.
Kasus ini mulai terungkap pada pertengahan Juni lalu, ketika seorang kepala biara di Bangkok secara mendadak meninggalkan wihara setelah mengaku menjadi korban pemerasan. Polisi mengungkap bahwa Miss Golf mengklaim menjalin hubungan dengan sang biksu pada Mei 2024 dan kemudian menyatakan dirinya hamil. Ia menuntut uang tunjangan anak sebesar lebih dari 7 juta baht atau sekitar Rp3,5 miliar.
Penyelidikan lebih lanjut menemukan bahwa pola pemerasan serupa dilakukan terhadap sejumlah biksu lain. Uang yang diperoleh dari pemerasan itu sebagian besar telah dihabiskan, terutama untuk aktivitas judi daring. Dalam penggerebekan awal Juli ini, aparat menyita ponsel milik Miss Golf yang berisi ribuan konten video dan foto eksplisit.
Perempuan tersebut kini menghadapi dakwaan pemerasan, pencucian uang, serta penerimaan barang hasil kejahatan. Kepolisian Thailand juga membuka saluran pengaduan publik guna menjaring laporan masyarakat terkait perilaku menyimpang para biksu.
Sebagai respons, Dewan Tertinggi Sangha membentuk komite khusus untuk meninjau kembali aturan terkait perilaku biksu, sementara pemerintah mulai mempertimbangkan penerapan sanksi hukum yang lebih berat, termasuk hukuman penjara.
Pemerintah Thailand juga menunjukkan ketegasan. Raja Vajiralongkorn mencabut gelar kehormatan yang sebelumnya diberikan kepada 81 biksu, menyusul meningkatnya kasus pelanggaran moral yang menurutnya telah membuat umat Buddha merasa sangat menderita secara batin.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha, Thailand selama ini menempatkan para biksu pada posisi terhormat. Namun, berbagai skandal yang mencuat, seperti kasus Wirapol Sukphol pada 2017 dan penggerebekan narkoba di Phetchabun tahun 2022, telah menimbulkan krisis kepercayaan.
Cendekiawan agama Suraphot Thaweesak menilai akar persoalan terletak pada sistem hierarki yang kaku di tubuh Sangha. “Sistemnya otoriter mirip dengan birokrasi Thailand. Biksu senior seperti pejabat tinggi dan biksu junior adalah bawahan mereka,” ujarnya. Banyak biksu muda merasa takut bersuara karena risiko dikeluarkan dari wihara.
Meski begitu, sejumlah pihak melihat penyelidikan ini sebagai titik awal reformasi. “Yang penting adalah mengungkap kebenaran agar publik dapat meredakan keraguan mereka tentang ketidakbersalahan Sangha,” tutur Prakirati Satasut dari Universitas Thammasat.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan