SAMARINDA – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada dua tokoh politik nasional, mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, menjadi pusat perhatian publik. Kebijakan yang diumumkan pada Jumat (1/8/2025) itu dinilai sarat dengan pertimbangan politik, hukum, dan kepentingan menjaga stabilitas nasional.
Keduanya sebelumnya mendekam di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, atas kasus korupsi. Namun, melalui hak prerogatif yang dimilikinya, Presiden memutuskan memberikan pengampunan. Langkah ini kembali memunculkan perdebatan lama soal batas penggunaan hak prerogatif presiden, serta implikasinya terhadap penegakan hukum dan konsolidasi politik di Tanah Air.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Edi Oloan Pasaribu, menjadi salah satu yang memberikan tanggapan. Legislator dari daerah pemilihan Kalimantan Timur tersebut menilai keputusan Presiden dilandasi tekad merajut kembali persatuan bangsa di tengah tantangan geopolitik dan dinamika politik domestik yang semakin kompleks.
“Saya melihat sebagai persatuan Indonesia, jadi kita tahu bahwa politik internasional saat ini banyak dinamika ketidakstabilan, kepastian dan konflik antar negara serta yang terbaru ini seperti Thailand dengan Kamboja, sehingga Presiden melihat bahwa pentingnya sebuah stabilitas nasional yang baik,” ujarnya di Samarinda, Minggu (3/8/2025).
Menurut Edi Oloan, pemberian amnesti dan abolisi bukan berarti mengabaikan komitmen pemberantasan korupsi. Ia menilai kebijakan ini justru bagian dari semangat rekonsiliasi nasional. “Saya melihat dari perspektif bagaimana ini adalah semangat mempersatukan bangsa, jadi bisa menjadi masalah berkepanjangan dan tidak baik bagi pemerintahan Prabowo, saat ini sangat luar biasa,” kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Ia menambahkan, hak prerogatif presiden berlaku tidak hanya untuk pengampunan hukum, melainkan juga untuk berbagai kebijakan strategis di bidang ekonomi, hak asasi manusia, dan politik. Ia menegaskan, pro dan kontra adalah konsekuensi yang wajar dari setiap keputusan besar kepala negara.
“Presiden dalam mengambil kebijakan tidak hanya dalam konteks memberikan amnesti dan abolisi, tapi dalam kebijakan ekonomi, hak asasi manusia dan politik pasti pro kontra selalu ada, namun sebagai langkah menjaga keharmonisan politik di Indonesia Presiden berani untuk tidak menjadi popular,” ungkapnya.
Edi Oloan menilai, kebijakan ini mencerminkan keberanian politik Presiden untuk memprioritaskan stabilitas pemerintahan meskipun berpotensi mengurangi popularitasnya. Menurutnya, langkah tersebut juga bertujuan menciptakan iklim politik yang kondusif bagi jalannya pemerintahan dan pembangunan nasional.
“Saya melihat stabilitas politik lumayan terasa ada angin segar pada pemerintahan Prabowo menata kembali dan mendapat sebuah atmosfer politik nasional yang baik,” tutupnya.
Dengan mempertimbangkan dinamika geopolitik internasional, kondisi politik dalam negeri, serta tantangan ekonomi yang dihadapi, keputusan Presiden ini dipandang sebagian pihak sebagai strategi memperkuat barisan politik dan mengurangi potensi konflik. Meski demikian, kebijakan tersebut tetap menuai perdebatan, terutama dari sisi konsistensi pemberantasan korupsi dan supremasi hukum. []
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan