JAKARTA – Mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) resmi memperoleh kebebasan bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, setelah masa hukumannya disesuaikan melalui proses peninjauan kembali (PK). Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto menegaskan, berdasarkan hasil PK, Setnov telah melampaui batas waktu hukuman yang dijalani. Agus menyebut, seharusnya Setnov bebas sejak 25 Juli 2025.
“Iya. Karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 yang lalu,” ujar Agus di Istana, Jakarta, Minggu (17/08/2025).
Agus menambahkan, setelah bebas, Setnov tidak diwajibkan melapor karena denda subsidier telah dilunasi. “Enggak ada. Karena kan denda subsidier sudah dibayar,” katanya. Lebih jauh, Agus menekankan kebebasan bersyarat diberikan karena PK yang diajukan Setnov dikabulkan, sehingga masa hukumannya disunat. “Putusan PK kan kalau enggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya,” ucapnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya menurunkan vonis hukuman Setnov dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun 6 bulan. MA mengabulkan permohonan PK terkait kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). “Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” bunyi keterangan putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (02/07/2025) lalu.
Kasus korupsi e-KTP sendiri terungkap setelah Setya Novanto menjadi tersangka pada 17 Juli 2017. Ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011–2013, divonis 15 tahun penjara, dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, Setnov harus membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS, dikurangi Rp 5 miliar yang telah disetor ke penyidik. Majelis hakim juga mencabut hak politiknya selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.
Sebelum terseret kasus e-KTP, Setnov dikenal sebagai politisi senior yang meniti karier sejak menjadi kader Kosgoro pada 1974 dan anggota DPR Fraksi Partai Golkar pada 1998. Ia tercatat enam periode berturut-turut menduduki kursi legislatif hingga 16 Desember 2015. Setnov juga pernah menjabat Ketua Umum Partai Golkar (17 Mei 2016–13 Desember 2017) dan Ketua DPR (30 November 2016–11 Desember 2017).
Kasus e-KTP sendiri bermula dari rencana Kemendagri pada 2009 untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP), termasuk penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Proyek ini mengalami penggelembungan anggaran dan pelanggaran hukum, dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Dalam dakwaan jaksa, Setnov disebut berperan dalam pengaturan anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Setelah serangkaian persidangan, delapan pelaku telah divonis, dengan Setnov menerima hukuman penjara terlama pada 24 April 2018.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan