JAWA BARAT – Menteri Pertanian Amran Sulaiman menanggapi kelangkaan beras premium di sejumlah ritel modern, yang dipicu oleh kehati-hatian pengusaha pasca kasus beras oplosan. Amran menyebut fenomena tersebut tidak menjadi masalah dan meminta produsen beras premium menjual dengan cara yang benar, sesuai kualitas dan harga.
“Enggak masalah,” ujar Amran usai menghadiri Panen Raya Jaksa Mandiri di Kabupaten Bekasi, Selasa (19/08/2025) lalu. Ia melanjutkan, “Aku tanya, kalau orang benar takut enggak? Kalau salah takut enggak?” Pernyataan ini menegaskan pentingnya kesesuaian antara kualitas beras dan harga jual di pasar.
Amran menekankan agar beras premium yang dijual sesuai dengan mereknya dan tidak memanfaatkan kesempatan menjual beras dengan kualitas rendah tetapi dibanderol harga tinggi. “Kalau mau jual premium, yang benar. Mereknya sesuai dengan isinya. Jangan isinya beras biasa harganya Rp 12.000, broken-nya 30-50 persen, tetapi harganya (dijual jadi) Rp 17.000 (labelnya) premium. Itu enggak benar,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan adanya beras premium oplosan yang mengandung mayoritas beras patahan atau broken rice hingga 59 persen. Padahal, harga yang sesuai untuk beras dengan kadar broken 30 hingga 59 persen seharusnya Rp 12.000 per kilogram. “Ini standarnya harusnya dijual Rp 12.000, karena brokennya 30-40, bahkan 59%. Harusnya Rp 12.000 kenapa dijual Rp 17.000? yang dijual adalah kemasannya,” katanya.
Menurut Amran, munculnya kasus beras oplosan memicu pergeseran perilaku konsumen. Saat ini, sebagian besar masyarakat lebih memilih berbelanja di pasar tradisional karena harga lebih murah dan kualitas lebih transparan. Harga beras premium di pasar tradisional rata-rata Rp 13.000 per kilogram, lebih rendah dibanding ritel modern yang berkisar Rp 17.000–18.000 per kilogram. “Ada pergeseran, konsumen lari ke tradisional. Dia lebih percaya tradisional, transparan, terbuka, murah,” ujarnya.
Kondisi ini, menurut Amran, menguntungkan pedagang kecil dan penggilingan beras skala menengah. Pasokan beras untuk pasar tradisional mayoritas berasal dari penggilingan kecil dan menengah, sedangkan ritel modern disuplai pabrik besar. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 1.065 pabrik besar, 7.300 pabrik menengah, dan 161.000 penggilingan kecil, dengan total kapasitas giling melebihi kebutuhan nasional yang sekitar 65 juta ton gabah per tahun.
Amran menekankan perlunya perlindungan bagi penggilingan kecil dalam menghadapi persaingan dengan pabrik besar yang mampu membeli gabah dengan harga lebih tinggi. “Pemerintah menginginkan, pemerintah nih, bagaimana yang kecil ini jangan tertindas, penggilingan kecil, supaya dia, ini ekonomi kerakyatan. Dan, ini disubsidi oleh pemerintah Rp 150 triliun tahun ini Rp 160 triliun subsidi pangan,” katanya.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan