JAKARTA – Polemik tunjangan rumah bagi anggota DPR RI kembali menuai kritik tajam dari publik setelah angka yang disebut mencapai Rp50 juta per bulan terungkap ke permukaan. Besarnya nominal tersebut dianggap tidak sejalan dengan kondisi masyarakat yang tengah berjuang menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok.
Alih-alih memberikan penjelasan yang gamblang, DPR dan Kementerian Keuangan justru terlihat saling melempar tanggung jawab. Dari pihak DPR, angka itu diklaim bukan hasil keputusan internal melainkan penetapan langsung dari Kementerian Keuangan. Sementara Kemenkeu menilai urusan tersebut lebih tepat dijawab oleh DPR sebagai pihak penerima fasilitas.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan bahwa DPR tidak pernah menetapkan besaran tunjangan rumah. Menurutnya, seluruh satuan harga pejabat negara ditentukan oleh Kemenkeu. “Angka Rp 50 juta itu muncul dalam kapasitas anggota DPR sebagai pejabat negara. Satuan harganya ditetapkan Menteri Keuangan, kami hanya menerima,” kata Misbakhun di Kompleks DPR RI, Senayan, Jumat (22/08/2025).
Misbakhun menambahkan, tunjangan tersebut diberikan karena anggota DPR berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Selama bertugas di Jakarta, mereka tidak lagi memiliki fasilitas rumah dinas karena aset tersebut sudah lama dikembalikan ke Sekretariat Negara. “Kalau dicek KTP mereka, jelas kebanyakan bukan orang Jakarta. Jadi butuh tempat tinggal. Nah, karena rumah dinas sudah tidak ada, ya diganti tunjangan,” tegasnya.
Namun pernyataan berbeda datang dari Kemenkeu. Direktur Jenderal Anggaran Luky Alfirman enggan menjelaskan secara rinci dan meminta agar hal itu ditanyakan langsung ke DPR. “Itu tanyakan ke DPR, alokasinya di mana. Sudah berlaku tahun ini atau belum, silakan dicek ke DPR,” ujarnya.
Ketika ditanya kembali mengenai sumber anggaran, Luky hanya menanggapi singkat. “Ya dari mana lagi kalau bukan APBN? Tapi teknisnya tanya DPR,” katanya.
Saling tuding antara DPR dan Kemenkeu ini justru membuat publik semakin bingung, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas besarnya tunjangan rumah tersebut. Kebingungan itu semakin diperparah dengan kenyataan bahwa rakyat kecil masih berjuang menghadapi harga beras dan kebutuhan pokok lain yang terus merangkak naik.
Di media sosial, warganet ramai-ramai melontarkan kritik. Ada yang menilai fasilitas sebesar Rp50 juta per bulan membuat anggota DPR seolah hidup di “menara gading” yang jauh dari realitas masyarakat. Bahkan sindiran muncul bahwa uang sebanyak itu cukup untuk menyewa apartemen mewah sekaligus membayar sopir pribadi.
Polemik ini kini menjadi sorotan tajam, tidak hanya karena angka yang dianggap terlalu besar, tetapi juga karena belum adanya kejelasan dari pemerintah maupun DPR. Publik masih menunggu jawaban pasti: apakah besaran tunjangan itu murni keputusan Kemenkeu, ataukah DPR turut berperan dalam menetapkannya.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan