JAKARTA – Gelombang protes yang berlangsung selama sepekan terakhir memaksa sejumlah partai politik bergerak cepat. Beberapa kader mereka yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat dinonaktifkan mulai Senin (01/09/2025), setelah pernyataan dan sikap mereka dinilai melukai hati rakyat.
Langkah penonaktifan ini dipilih partai sebagai bentuk respons politik di tengah derasnya kecaman publik. Namun, status nonaktif menimbulkan perdebatan karena berbeda dengan pemecatan. Konsekuensinya bagi para legislator juga tidak sama.
Status nonaktif pada dasarnya sama dengan pemberhentian sementara. Anggota DPR tetap berstatus sebagai wakil rakyat, tetapi untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas maupun kewenangan.
Dengan demikian, tokoh seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir masih tercatat sebagai anggota dewan. Mereka tidak kehilangan hak finansial, termasuk gaji dan berbagai tunjangan.
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, Pasal 19 ayat 4, menegaskan bahwa anggota yang diberhentikan sementara tetap memperoleh hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan. Hak tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi, hingga tunjangan beras sebagaimana diatur pula dalam Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI.
Berbeda dengan nonaktif, pemecatan berarti pencabutan permanen status keanggotaan DPR. Prosesnya lebih panjang karena melibatkan usulan resmi dari partai politik, pembahasan di DPR, hingga pengesahan oleh presiden.
Konstitusi juga menegaskan batas kewenangan. Pasal 7C Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR maupun memberhentikan anggotanya secara sepihak. Pemecatan hanya bisa dilakukan melalui mekanisme partai pengusung dan lembaga legislatif.
Alasan yang dapat menjadi dasar pemecatan telah diatur, antara lain tidak mampu menjalankan tugas selama tiga bulan tanpa keterangan, melanggar sumpah jabatan atau kode etik, terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, diusulkan oleh partai politik pengusung, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon legislatif, atau menjadi anggota partai politik lain.
Dalam praktiknya, Mahkamah Kehormatan Dewan berperan menyelidiki dan menyampaikan laporan kepada rapat paripurna DPR sebelum keputusan diambil.
Meski penonaktifan dipandang sebagai upaya partai meredam kemarahan publik, banyak pihak menilai keputusan tersebut belum cukup. Kritik muncul karena anggota DPR yang dinonaktifkan tetap menikmati hak keuangan, padahal tidak menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.
Sebaliknya, pemecatan dinilai sebagai langkah lebih tegas sekaligus menunjukkan komitmen partai untuk mendengar suara rakyat. Namun, proses yang panjang sering menimbulkan kesan partai enggan kehilangan kursi di parlemen.
Gelombang demonstrasi akibat sikap kontroversial sejumlah legislator kini memperluas perbincangan mengenai akuntabilitas parlemen. Publik menuntut agar penonaktifan tidak hanya menjadi formalitas, melainkan awal menuju reformasi serius di tubuh DPR. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan