AMERIKA SERIKAT – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memunculkan wacana kontroversial di akhir masa pemerintahannya. Kali ini, Trump berencana menandatangani perintah eksekutif yang akan mengganti nama Kementerian Pertahanan (Department of Defense) menjadi Departemen Perang (Department of War).
Langkah itu tertuang dalam dokumen Gedung Putih yang dirilis pada Kamis (04/09/2025). Disebutkan bahwa perubahan nama dimaksudkan untuk “menyampaikan pesan kesiapan dan tekad yang lebih kuat” dari institusi pertahanan AS.
Meskipun demikian, perubahan tersebut tidak serta-merta menghapus nama resmi Kementerian Pertahanan. Departemen Perang hanya akan digunakan sebagai “gelar sekunder”, sebab penetapan nama resmi sudah diatur dalam undang-undang.
Dalam beberapa pekan terakhir, Trump berulang kali menyampaikan keberatannya terhadap nama Department of Defense yang menurutnya terlalu “defensif”. Ia menilai, citra militer AS tidak boleh sebatas bertahan, melainkan harus juga dipandang sebagai kekuatan ofensif.
“Saya tidak ingin hanya pertahanan. Kita juga ingin ofensif,” ucap Trump saat bertemu dengan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung di Oval Office, Senin (25/08/2025), seperti dikutip Forbes.
Trump juga menyinggung sejarah panjang penggunaan istilah Departemen Perang sejak era Presiden George Washington pada 1789. Kala itu, departemen ini bertugas mengawasi Angkatan Darat AS sebelum akhirnya direorganisasi pasca-Perang Dunia II.
Menurutnya, istilah lama tersebut sarat makna kemenangan. “Seperti yang Anda tahu, kami memenangkan Perang Dunia I, kami memenangkan Perang Dunia II. Kami memenangkan segalanya,” ujar Trump dikutip dari USA Today.
Departemen Perang berdiri sejak masa awal kemerdekaan Amerika Serikat dan memegang kendali penuh atas militer darat. Setelah Perang Dunia II, pemerintah melakukan restrukturisasi besar-besaran. Departemen Perang, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara kemudian dilebur ke dalam National Military Establishment. Pada 1949, institusi ini resmi berganti nama menjadi Department of Defense atau Kementerian Pertahanan, yang berlaku hingga kini.
Karena alasan historis itu, Trump menyebut penggunaan istilah “Perang” lebih sesuai dengan karakter bangsa Amerika yang dikenal agresif dan siap bertarung. Baginya, nama “Pertahanan” tidak cukup mencerminkan kekuatan ofensif yang ingin ditampilkan Washington di panggung global.
Dalam dokumen Gedung Putih dijelaskan, perintah eksekutif akan menginstruksikan “Menteri Perang” untuk menyiapkan rekomendasi, termasuk langkah legislatif, agar perubahan nama dapat berlaku permanen.
Meski belum resmi diubah dalam kerangka hukum, para pejabat dipastikan dapat mulai menggunakan istilah baru itu dalam berbagai acara resmi, komunikasi publik, hingga konteks seremonial.
Pengamat menilai langkah ini sarat simbol politik. Di satu sisi, Trump ingin mengembalikan semangat historis era kejayaan militer AS. Namun di sisi lain, penggunaan istilah “War” dianggap berisiko memicu persepsi agresif di mata dunia. Sejumlah analis khawatir, kebijakan ini akan mempertegas citra Washington sebagai negara yang lebih mengutamakan kekuatan militer ketimbang diplomasi.
Wacana ini langsung menuai pro-kontra. Pendukung Trump menilai langkah itu sebagai bentuk ketegasan dan keberanian untuk menegaskan posisi Amerika sebagai kekuatan dunia. Mereka beranggapan, istilah “Departemen Perang” menunjukkan kesiapan melindungi kepentingan nasional dengan segala cara.
Namun, kalangan kritikus berpendapat sebaliknya. Penggunaan kata “War” dikhawatirkan memberi pesan yang salah kepada dunia internasional, terutama di tengah meningkatnya tensi geopolitik global. Nama baru itu, menurut sebagian pihak, justru bisa merusak citra AS sebagai negara demokratis yang seharusnya menjunjung diplomasi.
Apalagi, kebijakan ini muncul di saat situasi keamanan global masih rentan, mulai dari konflik Ukraina, ketegangan di Laut China Selatan, hingga hubungan AS dengan sekutu tradisionalnya.
Belum dapat dipastikan apakah perubahan nama ini akan benar-benar terealisasi secara permanen melalui mekanisme hukum, atau hanya akan berakhir sebatas simbol politik yang ditinggalkan Trump. Namun yang jelas, perintah eksekutif itu menegaskan gaya kepemimpinan Trump yang kerap mengedepankan narasi kekuatan militer dalam politik luar negeri.
Sejarah mencatat, setiap perubahan simbol negara sering kali membawa implikasi luas. Jika benar-benar dilaksanakan, dunia akan menyaksikan bagaimana Amerika kembali menghidupkan istilah lama yang sarat makna historis: Departemen Perang. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan