MARTAPURA – Musim panen kali ini menjadi pukulan berat bagi petani di Kalimantan Selatan. Hasil produksi padi menurun drastis, terutama di kawasan pesisir dan dataran rendah yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Penurunan hasil ini kian terasa di Desa Pemurus, Kecamatan Aluhaluh, Kabupaten Banjar.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Karya Bersama, Saberan (54), mengungkapkan bahwa penurunan panen sudah terjadi selama empat tahun terakhir. Namun tahun ini kondisinya semakin buruk. Dari sekitar 500 hektare lahan sawah, mayoritas ditanami varietas lokal jenis siam, produktivitas merosot lebih dari separuh.
“Tahun kemarin satu hektare bisa menghasilkan sekitar 250 blek atau 2,5 ton gabah. Tahun ini, satu hektare hanya mampu menghasilkan sekitar satu ton,” ujarnya, Minggu (07/09/2025).
Padahal, dalam kondisi normal, satu hektare sawah semestinya mampu menghasilkan hingga 3,5 ton gabah. Penurunan produksi ini membuat banyak petani mengalami kerugian. Biaya tanam yang tinggi tidak sebanding dengan hasil yang didapat.
Hal serupa diungkapkan Ketua RT 2 Desa Pemurus, Ardiansyah. Menurutnya, berbagai faktor menjadi penyebab utama kegagalan panen, mulai dari cuaca yang tidak menentu hingga serangan hama. “Padi banyak rusak karena cuaca dan serangan tikus. Pertumbuhannya lambat dan saat keluar bulir sering dimakan tikus dan burung,” katanya.
Selain itu, penggunaan pestisida yang berlebihan juga berdampak pada kualitas gabah. Alih-alih membantu, penggunaan yang tidak terkontrol justru membuat tanaman semakin rentan.
Saberan menambahkan, sistem pertanian di kawasan pesisir Banjar memang sangat bergantung pada kondisi iklim. Menurutnya, lahan sawah di Pemurus justru membutuhkan kemarau panjang agar air laut bisa masuk ke area persawahan dan membantu menyuburkan tanah.
“Kalau kemarau basah, kualitas panen menurun. Justru akan bagus kalau kemarau panjang. Soalnya, tanah di Pemurus butuh kondisi kering agar air laut bisa masuk dan menyuburkan lahan,” jelasnya.
Ia pun berharap ada langkah nyata dari pemerintah daerah maupun provinsi untuk memberikan solusi jangka panjang, terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang kini semakin terasa.
Tidak hanya di Banjar, keluhan serupa juga datang dari petani di Kabupaten Tapin. Sugiman, petani di Kecamatan Mataraman, mengaku hasil panennya turun lebih dari separuh. Hujan yang terus turun membuat sebagian petani kesulitan memanen.
Di Desa Purut, Kecamatan Bungur, warga yang semula berharap bisa menyedekahkan hasil panen padi untuk jemaah haul Guru Sekumpul juga menghadapi tantangan berat. Serangan tikus membuat hasil panen mereka terancam.
Ketua Posko Singgah Desa Purut, Alamin, mengungkapkan bahwa meski padi yang ditanam bersama sejak Juli mulai berbulir, ancaman hama tetap tinggi.
“Alhamdulillah pertumbuhannya bagus, insya Allah akhir Oktober bisa panen. Tapi kendalanya tikus sangat sporadis. Hampir 300 ekor pernah kami tangkap dalam semalam,” ungkapnya.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, warga kini lebih intensif menjaga sawah pada malam hari dan memasang perangkap.
Sementara itu, di Desa Harapan Masa, Kecamatan Tapin Selatan, sebagian petani masih optimistis. Farida, salah seorang petani, mengaku lahan seluas hampir setengah hektare yang ia kelola sudah memunculkan bulir kuning dan diperkirakan siap panen dalam waktu 10 hari.
“Kalau siang diserang burung, malamnya saya dan suami giliran jaga karena banyak tikus. Mudahan panen kedua ini berhasil, seperti pertama,” tuturnya.
Menanggapi persoalan ini, Kepala Bidang Pengendalian dan Penanggulangan Bencana (P2B) Dinas Pertanian Banjar, Imelda Rosanty, mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah intervensi. Upaya itu mencakup gerakan pengendalian hama tikus melalui kelompok tani dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).
“Mungkin hasilnya belum maksimal. Ke depan juga akan diintervensi dengan penggunaan bibit unggul agar tidak mudah terserang hama dan tahan kondisi lingkungan akibat cuaca,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Kepala Dinas Pertanian Tapin, Triasmoro. Ia memastikan pemerintah menyiapkan bantuan obat rodentisida bagi petani yang lahannya terserang hama tikus. “Musim tanam padi di Tapin memang sudah berjalan, tetapi belum serentak karena tergantung kondisi air. Puncak masa tanam diperkirakan pada Oktober mendatang,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kalsel, Syamsir Rahman, mengaku belum menerima laporan resmi mengenai penurunan hasil panen di Banjar maupun Tapin.
“Memang ada laporan mengenai penyakit padi Tungro di sebagian Banjar dan dampak operasi modifikasi cuaca dari BNPB. Namun, data spesifiknya belum kami terima,” ujarnya.
Meski demikian, Syamsir menegaskan pemerintah provinsi mendorong penanganan awal dilakukan oleh masing-masing kabupaten. Ia menambahkan bahwa secara keseluruhan, produksi padi di Kalimantan Selatan hingga Agustus 2025 masih mencatat angka positif, yakni 1,2–1,3 juta ton, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah sekitar 1 juta ton.
“Kami baru saja melaksanakan panen raya dan tanam padi serentak di Desa Sungai Rasau, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala,” ujarnya.
Kondisi yang dialami petani di Banjar dan Tapin menunjukkan bahwa ancaman perubahan iklim dan serangan hama tidak lagi bisa dianggap persoalan musiman. Para petani berharap ada strategi lebih berkelanjutan dari pemerintah agar sektor pertanian tetap bertahan.
Di sisi lain, data peningkatan produksi di tingkat provinsi belum sepenuhnya mencerminkan kondisi lapangan. Di tingkat petani kecil, kerugian masih nyata terasa. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan