GAZA – Laporan terbaru dari sejumlah dokter internasional yang bertugas di Gaza menimbulkan kekhawatiran serius mengenai pola luka tembak pada anak-anak korban konflik. Para tenaga medis tersebut menemukan mayoritas luka tembak anak berada di dada dan kepala, sebuah pola yang dianggap terlalu seragam untuk disebut kebetulan.
Temuan ini pertama kali dipublikasikan surat kabar Belanda, de Volkskrant, pada Sabtu (13/09/2025) lalu, dan kemudian dikutip media Turki, Anadolu, Minggu (14/09/2025). Laporan tersebut memperkuat dugaan bahwa anak-anak di Gaza bisa saja menjadi sasaran tembak langsung dalam operasi militer Israel (IDF).
Para tenaga medis yang menyampaikan laporan itu merupakan relawan asal Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Belanda. Mereka bekerja di enam rumah sakit serta empat klinik di Gaza sejak agresi Israel dimulai pada Oktober 2023.
Setidaknya 17 dokter dan seorang perawat diwawancarai de Volkskrant. Dari jumlah itu, 15 dokter mengaku telah menangani sedikitnya 114 anak berusia 15 tahun ke bawah dengan luka tembak tunggal di bagian vital, khususnya kepala dan dada. Mayoritas korban tak tertolong akibat luka tersebut.
Pola serangan ini terdokumentasi sejak akhir 2023 hingga pertengahan 2025 di sedikitnya 10 fasilitas medis di Gaza. Sejumlah dokter menilai luka semacam itu sulit dianggap sebagai hasil tembakan acak. Bahkan pakar forensik yang dikonsultasikan menyebut adanya indikasi kuat bahwa tembakan dilakukan secara terarah, kemungkinan menggunakan penembak jitu atau teknologi drone.
Salah satu kesaksian datang dari Feroze Sidhwa, relawan bedah asal Amerika Serikat. Ia menceritakan pengalaman di hari pertamanya bertugas di Rumah Sakit Eropa Gaza pada Maret 2024. “Bagaimana bisa itu terjadi di rumah sakit kecil ini, dalam tempo waktu 48 jam, ada empat anak datang dengan luka tembak di kepala?” katanya kepada de Volkskrant.
Tidak berhenti di situ, dalam dua pekan berikutnya, Sidhwa kembali menangani sembilan anak dengan luka serupa. Ketika berdiskusi dengan rekan sejawat di rumah sakit lain, ia menemukan kasus serupa terjadi hampir setiap hari. “Pada momen itu saya memutuskan: Saya harus mencari tahu apa yang terjadi di sini,” ujarnya.
Meski menghadapi dilema moral, banyak relawan medis akhirnya memutuskan berbicara. Mereka sadar bahwa kesaksian ini bisa membuat izin mereka kembali ke Gaza ditolak. “Tak berbicara bukan lagi sebuah opsi,” ungkap salah satu dokter kepada de Volkskrant.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa sejak Maret 2025, Israel menolak masuk lebih dari 100 tenaga kesehatan internasional tanpa memberikan penjelasan. Langkah itu semakin memperkuat kekhawatiran bahwa kondisi di lapangan tidak transparan.
Di sisi lain, otoritas Israel tetap membantah tuduhan bahwa pasukannya sengaja menargetkan warga sipil, termasuk anak-anak. Namun laporan media internasional menunjukkan serangan terus berlanjut. Al Jazeera melaporkan sedikitnya 31 warga tewas di Gaza City sepanjang akhir pekan akibat serangan udara dan tembakan pasukan Israel.
Kantor Media Pemerintah Palestina di Gaza juga menyatakan bahwa sejak 11 Agustus 2025, Israel semakin intensif menargetkan kawasan permukiman di Gaza City melalui operasi darat. Hingga pertengahan September 2025, jumlah korban jiwa di Gaza tercatat mencapai 64.803 orang, dengan 164.264 lainnya mengalami luka-luka.
Situasi ini menambah tekanan terhadap komunitas internasional untuk mendesak gencatan senjata serta perlindungan khusus bagi anak-anak di wilayah konflik. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan