“Andaipun sanggup menjelajahi waktu dan memilih, aku akan tetap memilih untuk hidup di zaman ini dan tetap menjadi diriku.”
Sengaja kutuliskan ini pada Minggu, hari yang sama kala 28 Oktober 1928, untuk mencoba merasakan suasana yang sama ketika 87 tahun lalu para pemuda bersiap siap mengikrarkan bersama janji tekadnya itu.
Subuh, memang waktu yang hening untuk menulis. Waktu yang begitu tenang sehingga tak terasa semua guratan ini mengalir tanpa henti.
Sendat dan rehatku hanyalah karena ada sedikit harap. Kesamaaan hari ini dengan 87 tahun lalu, memampukanku walau sesaat saja dapat mendengar suara bisik, tawa dan canda mereka tempo dulu, yang telah mengudara dalam gumpalan gelombang suara. Tiba-tiba mencapai volume jenuh dan terlepaskan dari molekulnya, lalu melaju dalam kecepatan gelombang dengan resonansi gema yang lembut dan besaran amplitudo yang tepat. Sehingga bisikan itu terdengar lantang di gendang telingaku dan menceritakan tentang situasi kala itu. membisikkan tentang harapan mereka, tentang asa sekelompok anak muda di tengah masa perjuangan walau ada sedikit rasa was-was jika Sersan Van Dor Dor mendadak muncul di hadapan mereka.
Sebuah harapan yang lahir dari semangat dan gejolak darah muda sehingga Soegondo dengan lantang mendeklamasikan kalimat-kalimat heroik buah pikir Moehammad Yamin:
Soempah pemoeda
Pertama : Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea : kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga : kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe ,endjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
28 Oktober 1928, pemuda – pemudi pemberani berikrar setia tanpa tahu apa yang bakal terjadi saat itu, tanpa takut dan gentar dengan keselamatan mereka.
Tanpa juga bertanya, mungkinkah pesan tersampaikan kepada generasi berikutnya. Pesan yang lahir dari gejolak jiwa muda yang ingin bebas dari rasa terkekang, dan oleh kesadaran untuk bersatu dalam satu komunikasi, satu rasa kebangsaan dan satu kecintaan bagi tanah air Indonesia tercinta.
Kini, kalau kita mau jujur, merekalah generasi beruntung karena mereka masih sempat merasakan bahwa perjuangan tanpa senjata itu berbuah hasil yang luar biasa.
17 tahun setelah mereka berikrar, semangat itu kembali menggugah sekelompok pemuda lain dengan semangat yang sama, dan semangat itu akhirnya mengubah sejarah bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi negeri bebas merdeka.
Kendatipun sesungguhnya kita semua takkan pernah tahu apakah peristiwa Rengasdengklok merupakan karya semangat yang sama di jalan sejarah .
Tapi tanpa keberanian pemuda pemudi kala itu, yakinkah kita bahwa proklamasi akan terjadi, karena jalan takdir untuk merdeka memang sudah menjadi milik bangsa ini, dan upaya pemuda menculik Bung Karno itu hanyalah tikungan kecil yang dipilih untuk menjadi bagian jalan sejarah ?
Andaikata peristiwa itu tidak terjadi, apakah kita semua masih tetap meyakini bahwa kemerdekaan bangsa ini pasti terjadi di hari itu sekalipun dibacakan di tempat lain, dengan kemungkinan bahwa sang saka merah putih juga bukan dijahit oleh jemari lincah Fatmawati .
Tak seorangpun bisa menjawab, namun satu hal pasti bahwa perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari peran pemuda.
Kini, memperingati 28 Oktober 2015, kalimat heroik itu kembali bergema di mana-mana, di seluruh nusantara, dalam acara peringatan hari sumpah pemuda dengan semangat yang sama pada kurun waktu yang berbeda. Lalu, seiring perubahan waktu bagaimana peran pemuda masa kini menghadapi tantangan ke depannya .
Sejak memasuki era otonomi daerah, kaum muda yang kini telah menyatu dalam suatu wadah bersama melalui deklarasi pemuda 23 Juli 1973 dengan nama “Komite Nasional Pemuda Indonesia.” Seakan akan memasuki dunia baru.
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang tadinya di masa orde baru identik dengan kekuasaan, mau tidak mau harus terikut dalam pusaran transisi menuju desentralisasi, harus beradaptasi dengan perubahan.
Di era otonomi daerah dengan dengan sistem demokrasi Pilkada langsung, sistem kekuasaan pasti mengarah kepada sistem kelompok dengan gaya kepemimpinan demokratis. Hal ini tak bisa dipungkiri lagi karena sistem Pilkada langsung membuat seseorang harus menggerakkan banyak orang untuk membantunya dan dampak demokrasi langsung ini akan sangat dipengaruhi oleh trust.
Itulah sebabnya menjadi suatu kelaziman manakala pemenang Pilkada lalu menempatkan orang-orang yang dipilihnya untuk duduk dalam sistem yang dibangunnya, baik itu di wilayah politik maupun pada struktur organisasi birokrasi, karena dengan menempatkan orang yang dipercaya maka keleluasaan menjalankan program kebijakan tidak diliputi rasa khawatir dengan adanya upaya merusak tatanan kepemimpinannya dengan pengkhianatan.
Kelaziman ini pada akhirnya bisa menimbulkan pertentangan manakala si pemimpin kurang mampu menjaga keseimbangan dari struktur politik dan struktur sosial masyarakat.
Dipahami bahwa struktur sosial suatu wilayah sangat bergantung struktur politiknya.
Manakala struktur sosial bergerak akan terimbas pada struktur politik, dan sebaliknya ketika struktur politik itu bergerak maka struktur sosial akan merasakan dampaknya.
Tak bisa diabaikan, KNPI, yang tadinya identik dengan kekuasaan di masa orde baru dan kini berupaya untuk mempertahankan eksistensinya, mau tidak mau terposisikan berada pada kedua level struktur di atas, dan menjadi sulit bersikap netral apalagi kritis.
Otonomi daerah yang seharusnya merupakan kebebasan masyarakat setempat untuk mengurus dan menata kepentingan daerahnya secara lokal menuju terselenggaranya kesejahteraan masyarakat, saat ini masih berada dalam perspektif “bagi bagi kekuasaan dan uang.”
Upaya mandiri daerah seolah olah sebuah “sumpah jabatan” yang wajib dilaksanakan kala itu akibat ketidakpuasan terhadap sentralistik kekuasaan, implikasinya adalah kebijakan politik yang reaktif dimana lingkup otonomi daerah ini masih dianggap panggung kontes “artis ” politik dan birokrat lokal menjalankan kebijakan bagi kepentingan diri.
Perspektif itu pada akhirnya memunculkan suatu kondisi pro- kontra dalam sistem sosial politik di daerah dan pada akhirnya kebijakan kebijakan yang muncul, berkembang dari prakarsa pemilik kekuasaan tanpa dukungan saran, pikiran apalagi karya dari kelompok yang memposisikan dirinya sebagai oposisi bagi kebijakan yang ada.
Dan di tengah situasi dan kondisi sosial politik itu, KNPI memang harus luwes menyikapinya. Situasi pro kontra dalam politik sudah tentu akan berimbas dan menimbulkan situasi pro kontra juga dalam struktur sosial masyarakat. Di sisi lain, KNPI, dalam upayanya beradaptasi itu turut mengalami imbas dari situasi yang ada dalam kedua struktur tersebut. Terjadi dualisme kepengurusan dan berbagai hal yang menjadi tantangan bagi kaum muda adalah fakta yang harus dilalui oleh KNPI pada era otonomi daerah .
KNPI, sebagai wadah berkumpul para pemuda akan selalu berada diantara pilihan, ketinggalan kereta sejarah atau tergilas oleh sejarah . Kader-kader bangsa ini akan selalu diperhadapkan pada tantangan untuk mematangkan sumber daya manusia atau secepatnya menjemput takdir transformasi kepemimpinan daerah .
TANTANGAN SDM
Substansi otonomi daerah adalah pengambilan keputusan dan kebijakan sendiri oleh ‘aktor’ lokal. Konsep otonomi memang menempatkan diri sendiri sebagai acuan berpikir, dengan keputusan yang tidak mementingkan diri sendiri. Sementara esensi dari kebijakan politik, ekonomi maupun sosial pada level lokal adalah transformasi’postur’ penyelenggaraan pemerintahan.
Postur sebelumnya adalah potret pemerintahan sentralistik, ke depannya harus dirubah kearah desentralisasi dengan corak yang mengacu pada kondisi dan kebutuhan lokal. Dan sampai saat ini kita semua pasti belum berani untuk memastikan apakah kebijakan pemerintah daerah di Indonesia telah mengacu pada keperluan dan kondisi lokal di tengah kuatnya sentimen pada figur dan kepentingan yang menjadi kecenderungan saat ini.
Kondisi inilah yang harus menjadi fokus pemikiran bagi KNPI, kini dan kedepannya dalam menciptakan pemuda pemudi yang benar-benar siap sumber dayanya untuk bisa eksis dan bersaing saat dipercayakan untuk memasuki sistem politik dan birokrasi di daerahnya .
MOMENTUM TRANSFORMASI
Hidup itu pilihan, setiap orang memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk berkiprah di berbagai bidang sesuai kemampuannya. Akan tetapi kapan waktu yang tepat baginya untuk bersikap menentukan pilihan merupakan sebuah misteri.
Terkadang, para penggemar sepakbola suka membayangkan dan membandingkan siapa yang terbaik antara Pele, Maradona, Ronaldo atau Lionel Messi, jika bermain bersama dalam satu pertandingan.
Para penonton fanatik tinju juga sering berandai andai siapa yang terbaik bila petinju Mike Tyson diadu dengan Muhamad Ali. Bila Rudi Hartono bertanding Badminton dengan Chen Long, dari Cina .
Dan di tengah situasi ekonomi, sosial dan politik bangsa yang memburuk ini kita lalu dengan ekstrim berkata, seandainya saat ini Bung Karno yang menjadi Presiden, maka negeri ini sudah menjadi negara yang hebat, kita dihormati dunia karena ketegasan sikapnya untuk keluar dari PBB, keberaniannya untuk menolak dijemput oleh pesawat Rusia manakala kunjungannya ke sana direncanakan menumpang pesawat milik Maskapai Amerika dianggap mencederai kewibawaan Rusia sebagai negara adidaya penguasa blok timur .
Bahkan ada yang merasa bahwa bangsa ini lebih bisa berbangga diri manakala melihat Soesilo Bambang Yoedhoyono (SBY) berdiri bersama di antara Presiden Bangsa Bangsa lain, karena posturnya bisa seimbang bahkan lebih tinggi dari para presiden lainnya.
Akan tetapi tentunya itu semua hanyalah cara kita mengekspresikan rasa kecewa dan berusaha melipur amarah dengan berandai-andai sebagai solusi yang tidak menguras pikiran dan tenaga.
Setiap era, kurun waktu atau masa itu ada momentumnya. Kita bisa saja berujar secara spontan manakala ada teman kita mengalami kecelakaan. Bahwasanya kalau dia tidak menolak tawaran kita untuk minum kopi dan tidak buru-buru pergi, mungkin tidak akan terjadi kecelakaan yang merenggut nyawanya. Seandainya ini, seandainya itu dan andaikata lainnya.
Momentum adalah peristiwa yang terjadi pada seseorang pada waktu tertentu, karena itu jika momentum terjadi bersamaan pasti terjadi tumbukan.
Kita takkan pernah tahu kapan waktu kecelakaan atau sebaliknya kapan waktu mendapat lotere, hanya Tuhan pencipta yang mengetahuinya dan berkuasa merubahnya dan itulah yang disebut sebagai takdir dari jalan hidup setiap orang.
Namun tidak berarti kita lalu beranggapan bahwa setiap peristiwa yang terjadi merupakan suratan takdir karena sesungguhnya kita berhak menentukan pilihan dari apa yang disediakan bagi kita.
Ada jalan lurus, menikung dan berkelok namun dengan kecerdasan akal dan pikiran, manusia selalu dinasihati supaya dekat dengan Sang PenciptaNya, agar dituntun untuk mengambil keputusan hidup dengan tepat.
Dan di tengah geliat otonomi daerah yang begitu menggairahkan, KNPI harus berada dalam pusaran itu dan sudah pasti setiap keputusan KNPI kadangkala harus dihadapkan dengan sikap personal yang merasa dirinya pantas dan layak diutus masuk dalam sistem pemerintahan daerah, merasa layak dan mampu berkiprah, merasa sudah waktunya berkiprah karena sudah cukup matang dibina dan dipersiapkan dalam pengkaderan .
Di tengah dinamika otonomi daerah yang melaju dalam kecepatan maksimum untuk melakukan perubahan , berbenah dan membangun di tengah transformasi kepemimpinan daerah, pertaruhan itu muncul dan akan selalu ada sebagai tantangan bagi eksistensi kaum muda ini.
Kini, dalam perenungan bersama untuk tetap menjaga ‘api semangat’ sumpah pemuda 87 tahun lalu, dalam jiwa heroik dan Pekik Merdeka Proklamasi 70 tahun silam dan dengan Energi dari rasa tanggung jawab untuk selalu bersama dan bersatu, energi yang melahirkan bayi bernama KNPI 42 tahun silam, generasi terkini diperhadapkan pada berbagai tantangan.
Di era otonomi daerah ini pilihan bersikap semakin butuh keputusan yang akurat, cerdas dan bijak. Tantangan dilematis antara kesiapan SDM di KNPI pada satu sisi akan berhadapan dengan kesempatan bertransformasi secara cepat untuk menjadi ” aktor lokal ” Pada sisi lainnya , mengharuskan para kawula muda ini harus cerdas dan bijak dalam memilih .
Pengkaderan, adalah sebuah proses metamorfosa dengan tahapan dan langkah sistematis menyiapkan sumber daya manusia untuk menuju dan memasuki sistem dan struktur politik di daerah, namun tawaran untuk ambil bagian dalam transformasi kepemimpinan daerah juga harus disikapi secara tepat dan cerdas.
Persiapkan diri untuk menguasai pengetahuan sebagai bekal yang cukup nanti dan cermati momentum untuk menjemput takdir sejarah, dengan tidak menabrak momentum pihak lain.
Sejarah membuktikan begitu banyak pemuda cerdas dan pemberani yang salah menjemput takdir sejarahnya dengan menabrak momentum lain. Akhirnya menjadi kenangan sejarah dan tergilas. Namun sejarah juga mencatat begitu banyak pemuda yang pintar namun ragu. Harus ketinggalan kereta dan menanti lokomotif berikut, terus menanti karena gerbong yang datang selalu penuh terisi.
Selamat berikrar Pemuda, tetap semangat untuk menjadi tiang tiang penyangga negeri ini, kami menanti karyamu. ***