JAKARTA – Polemik penyitaan sejumlah buku bertema anarkisme oleh Kepolisian Jawa Timur menuai sorotan tajam, khususnya dari Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM). Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi dan Legislasi KemenHAM, Rumadi Ahmad, menilai langkah aparat berpotensi mengancam tradisi literasi dan kebebasan membaca masyarakat.
“Pelarangan atau perampasan buku akan merusak tradisi literasi masyarakat. Kepolisian tidak boleh mengambil langkah eksesif yang merugikan tradisi membaca, karena membaca merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Presiden Prabowo Subianto berulang kali menegaskan pentingnya membangun dan menjaga tradisi membaca,” ujar Rumadi dalam keterangan tertulis, Rabu (24/09/2025).
Menurutnya, penyitaan buku dalam penangkapan aktivis literasi di Kediri, Jawa Timur, tidak sejalan dengan semangat demokrasi maupun penghormatan terhadap HAM. Ia menekankan, aparat penegak hukum seharusnya memperhatikan prinsip hak asasi ketika menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam konvensi internasional.
“Khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005,” tegas Rumadi.
Ia menambahkan, penyitaan buku tidak sesuai dengan visi Presiden Prabowo Subianto, terutama dalam Asta Cita I yang menekankan penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, serta perlindungan HAM. “Tindakan penyitaan buku justru berpotensi menginterupsi upaya pemerintah dalam memperkuat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM,” katanya.
Lebih jauh, Rumadi menilai kasus ini menjadi sinyal bahwa reformasi kepolisian harus menyentuh hal-hal mendasar. Aparat dituntut memiliki pola pikir baru yang lebih demokratis, profesional, dan menghargai hak-hak warga.
Kontroversi bermula dari kericuhan di Surabaya yang berujung pada pembakaran Pos Lantas Waru Sidoarjo pada Jumat (29/08/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari. Insiden itu melibatkan pengeroyokan terhadap sejumlah anggota kepolisian yang sedang berpatroli.
Pasca-kericuhan, polisi menangkap 18 orang, termasuk 10 anak yang berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Dari proses penangkapan itu, aparat menyita 11 buku dari salah satu tersangka berinisial GLM (24). Buku-buku tersebut dianggap mengandung pemikiran anarkisme dan berpotensi memengaruhi tindakan pelaku.
Beberapa judul buku yang disita antara lain Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator karya Jules Archer, hingga Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara.
Direktur Ditreskrimum Polda Jawa Timur, Kombes Pol Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan dilakukan semata-mata untuk menelusuri pengaruh literatur terhadap tindakan tersangka. “Penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka,” ucapnya.
Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nanang Avianto, menegaskan bahwa pihaknya tidak melarang masyarakat membaca buku-buku tersebut, terutama bagi kalangan profesional atau akademisi. Namun, ia menekankan agar isi buku tidak dijadikan pedoman untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
“Silakan baca buku, tetapi kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” ujar Nanang pada Kamis (18/09/2025).
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai tindakan kepolisian tetap berlebihan. Para pemerhati literasi dan organisasi masyarakat sipil menilai bahwa kriminalisasi terhadap buku justru memperlihatkan masih adanya ketakutan aparat terhadap ide-ide kritis.
Perdebatan mengenai penyitaan buku sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Sejak era reformasi, masyarakat sipil berulang kali menuntut agar negara tidak lagi menggunakan cara represif terhadap bahan bacaan. Buku dipandang sebagai sarana pembelajaran yang harus dibiarkan bebas diakses masyarakat.
Bagi KemenHAM, kasus ini mengingatkan bahwa demokrasi tidak boleh berjalan mundur. Pemerintah, kata Rumadi, sudah berkomitmen menjaga tradisi membaca. Namun, praktik di lapangan justru menunjukkan masih adanya ketegangan antara aparat keamanan dengan prinsip kebebasan berekspresi.
Sejumlah pengamat menilai, jika aparat ingin menekan potensi radikalisme atau kekerasan, pendekatan edukatif lebih diperlukan ketimbang membatasi buku. Dengan begitu, masyarakat bisa memandang literasi sebagai ruang dialog, bukan ancaman.
Penyitaan buku di Jawa Timur menjadi isu nasional karena menyentuh persoalan fundamental: bagaimana negara menyeimbangkan keamanan dengan kebebasan warganya. Kasus ini tidak hanya menyinggung soal aktivisme, tetapi juga menyoroti arah reformasi kepolisian di masa pemerintahan Prabowo Subianto.
Rumadi Ahmad menekankan bahwa peristiwa ini harus menjadi refleksi bersama. Aparat, pemerintah, dan masyarakat perlu membangun pemahaman yang sama bahwa buku, betapapun kontroversial isinya, tetap bagian dari tradisi literasi yang harus dihormati. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan