BULUNGAN – Konflik lahan yang melibatkan warga Kampung Baru, Desa Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Bulungan, dengan PT KIPI kembali mencuat. Persoalan ini menyoroti tumpang tindih kepemilikan lahan hingga penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) yang disebut-sebut berada di kawasan permukiman warga.
Desa Mangkupadi sendiri selama ini dikenal sebagai kawasan yang kaya akan potensi pertanian, hasil laut, serta memiliki daya tarik wisata pantai yang indah. Namun, sengketa yang berkepanjangan kini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, sebab menyangkut hak dasar mereka atas tanah tempat tinggal sekaligus sumber penghidupan. Perjalanan menuju desa ini membutuhkan waktu sekitar tiga jam dari Tanjung Selor, membuat persoalan yang muncul tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga menjadi perhatian tingkat kabupaten.
Manager Operasional PT KIPI, Jamal, ketika dikonfirmasi menjelaskan bahwa persoalan HGU yang dipersoalkan warga sebenarnya berawal dari adanya dua transaksi. Transaksi tersebut, menurutnya, melibatkan PT BCAP dan masyarakat setempat. “Jadi di PT KIPI ada dua dari HGU sama lahan masyarakat. Jadi ada dua transaksinya dan kita sudah selesaikan serta kesepakatan antara masyarakat dengan perusahaan,” kata Jamal, Rabu (24/09/2025).
Namun demikian, Jamal enggan merinci lebih jauh terkait detail transaksi yang melibatkan PT BCAP. Saat ditanya lebih dalam mengenai mekanisme yang dilakukan atas lahan masyarakat, ia hanya menjawab singkat. “Itu kami tidak bisa sampaikan,” ucapnya.
Meski penjelasan tersebut belum memberikan gambaran utuh, Jamal memastikan bahwa pihak perusahaan berupaya menjaga komunikasi dengan pemerintah desa. Menurutnya, koordinasi sudah berjalan, termasuk dalam hal penawaran solusi agar sengketa tidak berlarut-larut. “Kami selalu berkoordinasi dengan desa, beberapa hal disampaikan serta beberapa solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini,” tandasnya.
Konflik ini menjadi semakin kompleks karena Desa Mangkupadi masuk dalam kawasan industri yang berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN). Status tersebut menempatkan kawasan ini dalam pusaran kepentingan pembangunan berskala besar, namun di sisi lain masyarakat lokal masih bergulat mempertahankan hak atas tanah.
Bagi warga, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan juga identitas dan tempat bernaung turun-temurun. Bagi perusahaan, kawasan industri ini adalah investasi jangka panjang yang terkait dengan kepentingan nasional. Benturan dua kepentingan ini menjadi latar persoalan yang sulit diurai.
Hingga kini, jalan tengah yang ditawarkan belum benar-benar memuaskan semua pihak. Warga menginginkan kepastian hukum atas tanah mereka, sementara perusahaan berharap keberadaan HGU tetap menjadi dasar legalitas operasional. Situasi ini menuntut adanya langkah tegas dari pemerintah daerah maupun pusat untuk menghindari konflik berkepanjangan yang dapat memicu ketegangan sosial.
Di tengah tarik ulur ini, masyarakat berharap suara mereka didengar. Pasalnya, sengketa tanah bukan hanya menyangkut kepemilikan, tetapi juga masa depan desa yang selama ini bergantung pada hasil bumi dan laut, serta berpotensi besar di sektor pariwisata. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan