Perusahaan Tambang di Tala Disanksi, Nama Tak Dikenal Warga Sumberjaya

TANAH LAUT – Pemberlakuan sanksi administratif oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap sejumlah perusahaan tambang batu bara kembali menyoroti lemahnya kepatuhan pelaku usaha terhadap aturan reklamasi. Dari 190 perusahaan yang dikenai sanksi di seluruh Indonesia, empat di antaranya berada di Kalimantan Selatan (Kalsel).

Dua perusahaan beroperasi di Kabupaten Tanahlaut (Tala), yakni PT Dutadharma Utama (DU) dan CV Latanza. Namun menariknya, nama kedua perusahaan ini tidak begitu dikenal warga sekitar lokasi tambang di Desa Sumberjaya, Kecamatan Kintap. Bahkan sebagian masyarakat menyebut aktivitas keduanya sudah lama tidak terdengar.

“Kalau PT DU setahu saya dulu memang pernah beroperasi di desa kami, tapi tak lama. Ya mungkin setahun lebih sedikit. Kalau tak keliru tak lama setelah covid-19 tutup,” ujar Sugeng Hariyanto, tokoh warga yang pernah menjabat kepala desa, Rabu (24/09/2025).

Sugeng menambahkan dirinya sama sekali belum pernah mendengar nama CV Latanza. Hal serupa diakui pejabat desa saat ini. Kepala Desa Sumberjaya, Abd Hannan, menyatakan belum mendapat informasi jelas. “Yang saya ketahui sejauh ini, perusahaan tambang batu bara di wilayah Kintap yang juga mencakup wilayah Desa Sumberjaya yaitu PT Arutmin Indonesia (AI). (Tapi) rasanya pernah mendengar untuk nama PT Latanza. Coba kami telusuri dulu,” katanya.

Meski kurang dikenal masyarakat, berdasarkan data resmi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, PT Dutadharma Utama masih memiliki izin operasi produksi batu bara yang berlaku hingga 31 Agustus 2027 dengan konsesi seluas 724,97 hektare. Sementara itu, CV Latanza memegang izin operasi produksi sejak 2011 hingga 2031, dengan luas konsesi mencapai 653 hektare.

Selain di Tala, dua perusahaan lain di Kalsel yang turut disanksi adalah PT Cakra Persada Mandiri dan PT Suryaraya Pusaka di Kabupaten Tabalong. PT Cakra tercatat memiliki konsesi seluas 2.041 hektare dengan izin operasi hingga 2030, sedangkan PT Suryaraya Pusaka mengantongi izin produksi sampai 2028 dengan konsesi 3.250 hektare.

Sanksi yang dijatuhkan berupa penghentian sementara operasional akibat kelalaian perusahaan dalam menempatkan Jaminan Reklamasi (Jamrek). Ketentuan ini sudah lama diatur, namun tidak dijalankan dengan baik. Surat keputusan penghentian sementara bernomor 1533/MB.07/DJB.T/2025 diteken langsung oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Tri Winarno, atas nama Menteri ESDM.

Pemerintah pusat menegaskan sanksi ini merupakan tindak lanjut setelah tiga kali peringatan administratif tidak ditanggapi tuntas oleh perusahaan. Namun demikian, Dinas ESDM Kalimantan Selatan mengaku belum mendapat laporan resmi terkait keputusan tersebut.

“Belum ada terima laporan kami. Tidak ada kaitannya dengan provinsi, karena kewenangan ada di pusat,” ujar Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Kalsel, Gayatrie Agustina F, Senin (22/09/2025). Ia menegaskan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, seluruh urusan izin usaha pertambangan mineral dan batu bara memang menjadi wewenang pemerintah pusat.

Sementara itu, keputusan ini juga mendapat perhatian serius dari organisasi lingkungan. Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Raden Rafiq, menilai kasus ini menjadi bukti lemahnya pengawasan pertambangan di lapangan.

“Fakta bahwa Dinas ESDM Kalsel ‘belum tahu’ justru menegaskan adanya jarak koordinasi antara pusat dan daerah. Akibatnya, masyarakat yang menanggung risiko kerusakan lingkungan,” tegasnya, Selasa (23/09/2025).

Raden menilai kewajiban menempatkan Jaminan Reklamasi seharusnya tidak bisa ditawar lagi karena sudah menjadi syarat mutlak dalam setiap izin tambang. Ia menilai lemahnya penegakan aturan membuat perusahaan bisa abai dan terus beroperasi hingga akhirnya terkena sanksi administratif.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: bagaimana perusahaan yang tak dikenal masyarakat justru tercatat memiliki izin resmi dengan konsesi ratusan hektare? Kondisi tersebut menegaskan bahwa pengelolaan data, koordinasi, serta pengawasan tambang di Indonesia masih memiliki celah besar.

Pada akhirnya, meski langkah Kementerian ESDM memberi sinyal ketegasan, kasus ini juga membuka fakta lain: masyarakat lokal sering kali hanya menjadi penonton, sementara aktivitas tambang berlangsung tanpa transparansi yang memadai. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com