JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) bertentangan dengan UUD 1945 menimbulkan respons beragam dari anggota DPR. Wakil Ketua Komisi V DPR, Syaiful Huda, menilai keputusan tersebut dapat diperdebatkan secara substansi, meski secara hukum bersifat final dan mengikat.
“Kami tentu menghormati putusan MK terkait UU Tapera yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena memang putusan MK bersifat final dan mengikat. Kalau secara substansi putusan itu, kami kira debatable ya karena UU Tapera ini lahir juga didasarkan pada upaya agar para pekerja bisa lebih mudah mendapatkan rumah,” kata Syaiful, Selasa (30/09/2025).
Syaiful menegaskan, jika MK menilai Tapera mengandung unsur pemaksaan yang bertentangan dengan konstitusi, pihaknya tetap menghormati pertimbangan tersebut. Namun, dari perspektif DPR, UU Tapera sejatinya bertujuan mempercepat akses perumahan bagi pekerja dan mendorong pembangunan ekonomi melalui sektor properti.
Putusan MK ini, lanjut Syaiful, menuntut Kementerian Perumahan dan Permukiman (PKP) untuk segera mencari sumber pendanaan alternatif agar program 3 juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tetap berjalan sesuai target. “Saat ini Kementerian PKP tengah gencar melakukan simulasi berbagai sumber pendanaan untuk mewujudkan program prioritas Presiden tersebut,” ujarnya.
Selain Syaiful, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Gerindra, Danang Wicaksana Sulistya, menekankan perlunya sinergi antara DPR dan pemerintah dalam menindaklanjuti putusan MK, khususnya terkait backlog perumahan. Menurutnya, penyelesaian backlog rumah akan berdampak luas terhadap sektor ekonomi karena program ini dapat memicu efek berganda, mulai dari penyerapan tenaga kerja hingga meningkatnya aktivitas sektor UMKM dan logistik.
“Kami perlu saling sinergi dan mendukung upaya pemerintah mengurangi backlog perumahan. Banyak inovasi dan strategi yang harus dilakukan agar target backlog bisa diminimalisasi, terutama dalam konteks program 3 juta rumah,” kata Danang.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan pengujian UU Tapera yang diajukan Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto. Dalam amar putusannya, MK menyatakan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dilakukan penataan ulang dalam jangka waktu maksimal dua tahun sejak putusan dibacakan. MK menilai konsep tabungan Tapera menggeser makna tabungan sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa, sehingga perlu disesuaikan dengan ketentuan konstitusi.
“Tapera bukan termasuk kategori pungutan lain yang bersifat memaksa sebagaimana maksud Pasal 23A UUD 1945, tetapi Mahkamah menilai UU ini telah menggeser makna tabungan yang sejatinya bersifat sukarela,” ujar hakim MK Saldi Isra.
Meski demikian, UU Tapera tetap berlaku sementara menunggu penataan ulang, sehingga DPR dan Kementerian PKP diharapkan tetap fokus pada percepatan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan