SAMARINDA – Bank Indonesia (BI) menegaskan kembali aturan penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) menyusul masih adanya praktik merchant yang diduga melakukan akal-akalan dengan membebankan biaya tambahan kepada konsumen. Padahal, transaksi QRIS bernilai hingga Rp1 juta seharusnya bebas biaya dan tidak boleh dijadikan alasan menaikkan harga barang maupun jasa.
Peringatan ini disampaikan Kepala Kantor Perwakilan BI Kalimantan Timur, Budi Widihartono, saat ditemui usai acara High Level Meeting Regional Investor Relations Unit (HLM-RIRU) di Hotel Midtown Samarinda, Senin (29/09/2025).
Menurut Budi, QRIS sejak awal dirancang agar menjadi sistem pembayaran digital yang efisien, praktis, dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Namun, masih ada pelaku usaha yang justru menjadikan biaya QRIS sebagai dalih untuk menambah tarif di meja kasir.
“Sebenarnya inti dari QRIS itu sederhana. Untuk transaksi sampai Rp1 juta, tidak dikenakan merchant discount rate (MDR), alias 0 persen. Hanya saja mungkin masih banyak yang belum tahu. Dari kajian kami, rata-rata transaksi QRIS justru berada di kisaran Rp200 ribu per transaksi, jadi jelas tidak terkena MDR,” jelasnya.
Budi menambahkan, untuk transaksi di atas Rp1 juta memang ada biaya MDR, tetapi nilainya sangat kecil, hanya 0,6 persen. Tarif ini jauh lebih rendah dibandingkan biaya gesek pada kartu kredit.
“Kalaupun ada transaksi di atas Rp1 juta, biayanya sangat ringan, hanya 0,6 persen. Itu jauh lebih kecil dibandingkan biaya gesek kartu kredit. Jadi kalau ada merchant yang menaikkan harga barang dengan alasan karena ada biaya QRIS, itu tidak benar,” tegasnya.
Menurut BI, biaya tersebut seharusnya sudah dihitung sejak awal dalam penentuan harga pokok produksi maupun harga jual. Karena itu, setiap upaya membebankan biaya tambahan kepada konsumen dianggap sebagai akal-akalan yang melanggar aturan.
BI mengakui masih ada pelaku usaha yang belum sepenuhnya memahami regulasi terkait biaya QRIS. Untuk itu, edukasi akan terus dilakukan agar praktik pungutan tambahan bisa ditekan.
“Merchant harusnya memahami sejak awal bahwa semua biaya operasional, termasuk biaya QRIS yang kecil itu, sudah dihitung dalam harga jual produk. Jadi bukan ditambahkan mendadak ke konsumen di meja kasir,” kata Budi.
Ia menegaskan, pengenaan tarif tambahan dengan dalih QRIS berpotensi merugikan konsumen sekaligus mencoreng kepercayaan publik terhadap ekosistem pembayaran digital.
Sejak diperkenalkan secara nasional, QRIS terbukti memberi banyak manfaat, terutama bagi UMKM. Transaksi lebih cepat, aman, tercatat secara digital, dan memudahkan konsumen karena tidak perlu lagi membawa uang tunai dalam jumlah besar.
QRIS juga memperluas akses layanan keuangan formal bagi masyarakat yang sebelumnya tidak terhubung dengan sistem perbankan. Budi menekankan bahwa manfaat ini hanya akan dirasakan maksimal jika merchant taat aturan dan tidak melakukan pungutan tambahan yang justru merugikan konsumen.
“QRIS bukan hanya memudahkan transaksi, tetapi juga membuka peluang usaha lebih besar bagi merchant karena konsumen merasa nyaman dan tidak terbebani biaya tambahan. Ini yang ingin kita jaga bersama,” ujarnya.
Ke depan, BI Kaltim akan memperluas pemanfaatan QRIS ke berbagai sektor, mulai dari pariwisata, transportasi, hingga layanan publik. Langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah memperkuat literasi keuangan digital dan meningkatkan efisiensi sistem pembayaran.
Dengan kepastian bahwa transaksi QRIS di bawah Rp1 juta bebas biaya, masyarakat diminta tidak khawatir lagi menjadi korban pungutan. Sebaliknya, BI mengingatkan merchant agar tidak lagi memainkan akal-akalan dengan dalih biaya QRIS demi menjaga kepercayaan konsumen dan menciptakan ekosistem pembayaran digital yang sehat serta transparan. []
Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan