Anak Bekerja, Hukum Diam Saja

BANJARMASIN – Tragedi tenggelamnya kelotok bermuatan batu bara karungan di Sungai Barito, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, menyisakan kisah getir dan kritik tajam terhadap abainya pengawasan keselamatan transportasi sungai. Di balik kisah heroik para remaja yang selamat, terselip potret buram kemiskinan dan lemahnya sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Faris (14), salah satu penumpang yang selamat, membenarkan kronologi peristiwa yang sebelumnya diceritakan Muh. Dinur (11). Ia mengaku perahu yang mereka tumpangi karam akibat gelombang besar usai dua speedboat melintas di jalur yang sama, Jumat (03/10/2025) malam.

Menurut Faris, kelotok tersebut baru saja kembali dari Pulau Alalak, Kabupaten Baritokuala, setelah gagal menjual batu bara yang mereka kumpulkan dari tongkang. “Kami membersihkan batu-bara sisa di atas tongkang, biasanya orang mau saja membeli. Namun batu kami katanya masih habang (merah),” ujarnya.

Namun di balik keterangan polos bocah 14 tahun itu, tersirat ironi: anak-anak di bawah umur harus bekerja di tengah bahaya hanya untuk bertahan hidup, sementara keselamatan mereka seolah diabaikan.

Faris menyebut kelotok itu mengangkut lebih dari 1.000 karung batu bara, melebihi kapasitas normal perahu. “Seribu saja biasanya, tapi tadi lebih dari seribu, makanya rendah sekali kelotoknya,” ungkapnya.

Kelebihan muatan itulah yang membuat kelotok nyaris sejajar dengan permukaan air. Saat dua speedboat melintas, gelombang besar langsung menghantam buritan dan menenggelamkan kapal dalam hitungan detik. “Saat speedboat lewat, langsung tenggelam buritannya. Kami beloncatan saja, tidak tahu orang di belakang minta tolong,” kata Faris.

Ia juga menyebut nama-nama awak yang ikut dalam pelayaran maut itu: Caca (20), Khairul (20), Amang Papah, Amang Uzie/Tokong, Satria (16), serta dirinya. Faris memastikan satu korban tewas bernama Amang Uzie. “Setahu saya, saya belum pernah melihat Amang Uzie itu berenang,” ucapnya lirih.

Sebelumnya, Dinur menceritakan bahwa mesin kelotok sempat mati sebelum dihantam gelombang besar. Satria berhasil berenang ke tepi sungai dan melapor ke Pos Airud Muara Mantuil. “Tapi pina ngalih jua pang bepander inya tuh (Memang sulit juga berbicara Satria),” tambah Faris.

Baik Faris maupun Satria diketahui telah putus sekolah sejak SD. Keduanya kerap ikut bekerja membersihkan sisa batu bara di tongkang-tongkang besar yang melintas di Sungai Barito.

Tragedi ini menyoroti minimnya pengawasan terhadap keselamatan transportasi sungai dan lemahnya perlindungan bagi anak-anak pekerja di wilayah bantaran sungai. Kelebihan muatan, tidak adanya alat keselamatan, dan pengabaian faktor cuaca menjadi kombinasi maut yang seolah dianggap biasa.

Setiap kali air sungai menelan korban, aparat hanya bergerak setelah nyawa melayang, sementara penyebabnya terus berulang: kemiskinan yang tak tertangani dan sistem yang membiarkan anak-anak berjuang di tepi bahaya.

Banjarmasin kembali berduka. Namun lebih dari sekadar duka, peristiwa ini menampar nurani: sampai kapan keselamatan rakyat kecil di sungai hanya jadi angka di laporan kecelakaan? []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com