Adat Jadi Alat, Rizky Kabah Digandakan Hukum

PONTIANAK – Kasus Rizky Kabah, kreator konten yang kini berstatus tersangka atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kembali memantik perdebatan publik. Namun di balik sorotan hukum negara, muncul pertanyaan besar: mengapa hukum adat baru diingat setelah publik terlanjur marah?

Rizky Kabah dijerat karena ucapannya yang dianggap menghina suku Dayak dengan menyinggung soal “ilmu hitam”. Pernyataan itu menimbulkan gelombang kemarahan luas, hingga menyeretnya bukan hanya ke meja hukum formal, tetapi juga ke ranah hukum adat Dayak Kanayatn dengan sanksi Capa Molot.

Dalam tradisi Dayak Kanayatn, Capa Molot sejatinya bukan hukuman balas dendam, melainkan jalan menuju pemulihan dan perdamaian. Sanksi itu dimaksudkan agar pelaku dan pihak tersinggung dapat saling memaafkan serta menutup persoalan tanpa dendam. Namun dalam kasus ini, semangat damai itu seolah tersisih di tengah hiruk-pikuk amarah kolektif dan kehausan publik akan “hukuman ganda”.

Ketua Umum Ormas Mangkok Merah Kalimantan Barat (MMKB), Iyen Bagago, menegaskan bahwa adat tetap akan dijalankan. “Pelaku penghina suku Dayak, Rizky Kabah selain dihukum negara akan dihukum adat juga,” kata Iyen kepada, Sabtu (04/10/2025).

Iyen menjelaskan, pelaksanaan Capa Molot harus dihadiri langsung oleh pelaku. Namun, karena Rizky Kabah kini berada dalam tahanan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Dewan Adat Dayak untuk menentukan langkah teknis.

“Besok, ormas-ormas Dayak akan berkumpul dan berkoordinasi dengan Dewan Adat Dayak di Pontianak mengenai proses hukum adat ini teknisnya seperti apa. Baru kita ke Pasirah dan Temanggung yang lebih paham soal ini. Secara umum, hukum adat Capa Molot harus dihadiri yang dihukum,” ujarnya.

Sementara itu, Dirreskrimsus Polda Kalbar Kombes Burhanuddin memastikan Rizky telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Subdit Siber Ditreskrimsus pada Kamis (02/10/2025). “Penetapan status tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan bukti yang cukup dan melakukan gelar perkara,” katanya.

Penyidik menjerat Rizky dengan Pasal 45A Ayat (2) Jo. Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Namun, publik kini menyoroti apakah penerapan hukum adat di tengah proses hukum negara ini benar-benar bertujuan untuk menegakkan nilai budaya, atau sekadar menjadi “panggung moral” yang dipicu kemarahan massa. Ketika adat digunakan bukan untuk mendamaikan, melainkan mempermalukan, maka esensi keadilan justru bisa hilang.

Apakah Rizky Kabah pantas dihukum dua kali atas satu kesalahan yang sama? Atau ini cermin bahwa hukum baik negara maupun adat masih belum mampu membedakan antara mencari keadilan dan menuruti amarah? []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com