KOTAWARINGIN TIMUR – Seekor trenggiling akhirnya dilepasliarkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resort Sampit di kawasan hutan Kabupaten Kotawaringin Timur. Namun, di balik aksi simbolis penyelamatan satwa langka itu, masih tersisa ironi: perburuan dan perdagangan ilegal trenggiling terus terjadi, sementara penegakan hukumnya tetap lemah dan sering kali berhenti pada kampanye pelepasliaran semata.
Komandan BKSDA Resort Sampit, Muriansyah, menyebut pelepasliaran dilakukan setelah trenggiling tersebut menjalani pemeriksaan kesehatan dan dipastikan dalam kondisi baik. “Kemarin, trenggiling sudah kami lepasliarkan di wilayah hutan Kotawaringin Timur. Lokasinya jauh dari permukiman masyarakat dan dirahasiakan demi keamanan satwa,” ujarnya, Sabtu (04/10/2025).
Pelepasliaran ini memang tampak sebagai langkah positif. Namun, tanpa pengawasan ketat dan penindakan terhadap jaringan pemburu serta pelaku perdagangan, upaya seperti ini hanya menjadi seremonial tahunan. Trenggiling terus diburu karena dianggap bernilai tinggi dagingnya diklaim sebagai makanan eksklusif, dan sisiknya dijadikan bahan obat tradisional di pasar gelap Asia.
BKSDA mengklaim sudah melakukan survei habitat sebelum pelepasliaran. “Tempat ini merupakan habitat yang sangat mendukung, khususnya untuk trenggiling. Di sana banyak ditemukan semut dan rayap yang menjadi makanan utama trenggiling,” jelas Muriansyah. Meski demikian, ancaman terhadap habitat hutan akibat ekspansi perkebunan dan tambang di Kotim tak bisa diabaikan. Lepasliar satu ekor hari ini bisa jadi tak berarti jika hutan tempatnya hidup terus digunduli.
Trenggiling malang itu ditemukan staf sebuah perusahaan di Bagendang, di dalam peti kemas, sebelum diserahkan kepada BKSDA Sampit. “Dari keterangan pihak perusahaan, trenggiling ini ditemukan oleh staf mereka yang sedang bekerja. Satwa ini lalu diamankan agar tidak diburu atau dimanfaatkan secara ilegal,” kata Muriansyah.
Namun fakta lain tak bisa dipungkiri: kasus serupa terus berulang. Penyelundupan satwa dilindungi, termasuk trenggiling dan burung cucak hijau, masih marak di wilayah ini. Bahkan, beberapa kali aparat hanya menyita barang bukti tanpa mengungkap dalang utama jaringan perdagangan satwa.
Padahal, perlindungan hukum bagi trenggiling telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Permen LHK Nomor 106 Tahun 2018. Pelaku yang terbukti menangkap, melukai, atau memperjualbelikan satwa dilindungi dapat dipenjara hingga lima tahun dan didenda ratusan juta rupiah. Sayangnya, vonis maksimal itu jarang dijatuhkan.
“Upaya konservasi ini penting agar satwa langka seperti trenggiling tetap lestari. Kami juga mengimbau masyarakat agar tidak menangkap atau memelihara satwa dilindungi, apalagi memperjualbelikannya,” pungkas Muriansyah.
Seruan itu baik, tetapi tanpa ketegasan aparat dan kepedulian pemerintah terhadap penyebab utama kepunahan yakni deforestasi dan lemahnya hukum pelepasliaran hanya menjadi simbol kepedulian yang hampa. Trenggiling memang dilepaskan ke alam, tapi manusia masih memenjarakan kesadaran ekologinya sendiri. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan