Demokrasi Georgia di Ujung Tanduk

TBILISI — Panggung politik Georgia kembali berguncang. Pemilu lokal yang digelar Sabtu (04/10/2025) bukan sekadar pertarungan suara, melainkan ujian bagi nasib demokrasi di negara Kaukasus itu. Di tengah pengawasan dunia internasional, partai penguasa Georgian Dream (GDP) berhasil mempertahankan dominasinya, namun kemenangan itu dibayangi oleh gelombang protes besar dan tudingan represi terhadap oposisi.

Aksi massa yang diikuti puluhan ribu warga pecah di Alun-Alun Kemerdekaan Tbilisi, menuntut penyelamatan demokrasi dan menyerukan pengakhiran kekuasaan GDP yang telah bercokol sejak 2012. Para demonstran mengibarkan bendera Georgia dan Uni Eropa, menegaskan keinginan mereka agar negara itu tetap berpijak pada nilai-nilai demokratis Eropa.

“Siapa pun yang peduli dengan nasib Georgia harus turun ke jalan hari ini,” seru Natela Gvakharia, 77 tahun, kepada AFP. “Kami di sini untuk melindungi demokrasi kami, yang sedang dihancurkan oleh Impian Georgia.”

Aksi yang disebut sebagai ‘majelis nasional’ itu berujung bentrok setelah massa mencoba memaksa masuk ke Istana Kepresidenan Georgia. Aparat menembakkan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan kerumunan. Kementerian Dalam Negeri Georgia menyebut demonstrasi itu “melampaui norma yang ditetapkan oleh hukum.”

Namun, peringatan keras pemerintah tak menyurutkan perlawanan rakyat. “Kekuasaan harus kembali ke tangan rakyat,” orasi Paata Burchuladze, mantan bintang opera yang kini menjadi ikon perlawanan, sambil menyebut pemerintahan saat ini “tidak sah”.

Di sisi lain, Perdana Menteri Irakli Kobakhidze menegaskan bahwa setiap upaya ‘revolusi’ akan digagalkan. Ia menuduh penyelenggara aksi terlibat dalam “radikalisme” dan memperingatkan bahwa “banyak orang mungkin akan dipenjara.”

Meski GDP mengklaim kemenangan telak dengan menguasai lebih dari 80 persen suara di hampir seluruh kotamadya, hasil itu justru memperdalam krisis kepercayaan publik. Uni Eropa bahkan menilai proses politik Georgia sebagai “terjebak dalam stagnasi”, menyusul laporan penangkapan terhadap sekitar 60 jurnalis, aktivis, dan tokoh oposisi selama setahun terakhir.

Seperti dilaporkan Amnesty International, pemilu kali ini “berlangsung di tengah pembalasan politik yang parah terhadap tokoh-tokoh oposisi dan masyarakat sipil.”

Bagi banyak warga Georgia, pemilu lokal bukan lagi tentang siapa yang menang, melainkan tentang apakah demokrasi di negeri itu masih punya masa depan. []

Admin04

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com