Angka HIV Meledak, Pemerintah Kutim Terlena Data

KUTAI TIMUR – Meski disebut “kemajuan” oleh pemerintah daerah karena meningkatnya deteksi dini, lonjakan kasus HIV di Kabupaten Kutai Timur justru menyingkap persoalan lama yang belum terselesaikan: lemahnya edukasi publik dan penanganan pencegahan di akar masalah.

Data Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) menunjukkan, hingga Agustus 2025 terdapat 104 kasus baru HIV di Kutim. Angka ini bukan hanya menandakan keberhasilan skrining, tetapi juga kegagalan upaya pencegahan selama ini—terutama di wilayah padat penduduk seperti Kecamatan Sangatta Utara, yang kembali mencatat kasus tertinggi.

Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kutim, Sumarno, berpendapat peningkatan kasus tidak selalu bermakna buruk. Ia menilai semakin banyak kasus terdeteksi berarti semakin banyak masyarakat yang sadar untuk memeriksakan diri. “Sebenarnya kalau HIV banyak ditemukan malah bagus, cepat memutus mata rantai kan, sama halnya dengan kasus penyakit TBC, sebab penyakit ini orang tidak mau periksa lalu jajan ke mana-mana dan menularkan HIV,” jelas Sumarno, Minggu (05/10/2025).

Pernyataan itu memang benar dalam konteks medis, namun di sisi lain menunjukkan bagaimana pemerintah terkesan pasrah menghadapi penyebaran HIV yang terus meningkat tiap tahun. Tidak ada pembaruan strategi yang berani atau terobosan signifikan untuk menekan penularan, terutama di sektor rawan seperti tempat hiburan malam (THM), kalangan sopir jarak jauh, dan remaja perkotaan.

Dinas Kesehatan Kutim saat ini masih mengandalkan pendekatan lama: penyuluhan tatap muka dan tes sukarela. Program edukasi dilakukan di sekolah hingga tempat hiburan malam, dengan melibatkan tujuh penyuluh HIV aktif. “Kita juga melakukan penjaringan, misalnya sopir-sopir atau orang yang ada di hiburan malam dilakukan pemeriksaan sebanyak tiga kali dengan alat berbeda,” terangnya.

Langkah ini patut diapresiasi, namun minim inovasi. Program penyuluhan yang sama telah dijalankan bertahun-tahun tanpa hasil signifikan. Tak ada kejelasan apakah anggaran penanggulangan HIV benar-benar tepat sasaran, atau hanya berhenti di kegiatan formal seremonial.

Selain skrining, pemerintah juga menugaskan para penyintas HIV yang berhasil pulih menjadi kader edukasi. “Mereka menyampaikan bahwa bisa sembuh dari HIV, pas penyuluhan kita bawa kadernya dan menyampaikan pengalamannya itu,” pungkas Sumarno.

Kebijakan ini menunjukkan niat baik, tetapi masih belum menyentuh aspek paling krusial: pencegahan sejak dini dan pengawasan perilaku berisiko di lapangan. Ketika 104 kasus baru muncul dalam delapan bulan, artinya satu hal pasti: sosialisasi belum berjalan efektif, dan masyarakat belum merasa terancam oleh bahaya nyata HIV/AIDS.

Pemerintah seolah lebih fokus pada pengobatan daripada pencegahan. Padahal, tanpa langkah berani untuk memperluas akses edukasi berbasis komunitas, HIV di Kutim hanya akan menjadi statistik tahunan yang terus bertambah—bukan peringatan untuk berubah. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com