KATHMANDU – Banjir dan tanah longsor mematikan yang melanda Nepal dan India kembali membuka luka lama soal lemahnya kesiapsiagaan menghadapi bencana di kawasan Himalaya. Lebih dari 60 orang tewas, puluhan lainnya hilang, dan ribuan warga terjebak di wilayah pegunungan terpencil, sementara pemerintah dua negara itu lagi-lagi hanya mampu menanggapi dengan imbauan dan pidato belasungkawa.
Hujan deras mengguyur Nepal sejak Jumat lalu, memicu meluapnya sungai-sungai dan menghanyutkan rumah warga di banyak daerah. “Setidaknya 44 orang tewas dalam bencana banjir tersebut dan lima orang hilang,” kata Shanti Mahat, juru bicara Otoritas Pengurangan Risiko Bencana Nasional Nepal, dikutip AFP, Senin (06/10/2025).
Namun, di balik angka korban, sorotan publik justru tertuju pada lambannya sistem peringatan dini dan minimnya infrastruktur mitigasi bencana. Tanah longsor besar di distrik Illam, yang menewaskan 37 orang, terjadi di lokasi yang sama dengan longsor besar dua tahun lalu tanpa ada perbaikan berarti. “Hujan deras semalaman menyebabkan tanah longsor,” ujar pejabat distrik setempat, Sunita Nepal.
Ia menambahkan, tim penyelamat menghadapi kesulitan mencapai lokasi terdampak akibat jalan-jalan terblokir. “Para petugas penyelamat telah mencapai daerah terdampak. Prosesnya sulit karena banyak jalan yang terblokir,” katanya. Ironisnya, sebagian besar jalur evakuasi di wilayah pegunungan itu belum diperbaiki sejak bencana serupa tahun lalu.
Di Kathmandu, sungai-sungai meluap, menggenangi permukiman padat di pinggiran ibu kota. Pemerintah mengerahkan helikopter dan perahu motor, namun evakuasi berjalan lamban karena keterbatasan armada dan peralatan. Sejumlah warga memilih bertahan di rumah dengan risiko terendam. “Memang ada beberapa kerusakan, tetapi berkat peringatan banjir dari pihak berwenang sebelumnya, kami dapat memindahkan beberapa barang ke tempat yang aman,” kata Rajan Khadga, seorang penjual sayur.
Perdana Menteri Nepal, Sushila Karki, dalam pidatonya menyatakan bahwa badan pemerintah “sepenuhnya siap untuk penyelamatan dan bantuan”. Namun, pernyataan itu dinilai banyak pihak tidak sesuai realitas di lapangan. Evakuasi tertunda, jalur logistik macet, dan banyak warga terisolasi tanpa bantuan makanan dan obat-obatan.
“Keselamatan Anda adalah perhatian utama kami. Jangan ragu untuk mencari bantuan yang diperlukan,” kata Karki. Ia juga menetapkan dua hari libur nasional dan mengimbau warga untuk tidak bepergian. Langkah itu menuai kritik karena dianggap lebih simbolis daripada solutif.
Sementara itu di India, bencana serupa menewaskan sedikitnya 20 orang di kawasan penghasil teh Darjeeling, Benggala Barat. Longsor dan banjir bandang menghancurkan rumah dan menutup akses jalan utama. “Setelah siklon dahsyat tadi malam di perbukitan Darjeeling, lebih dari 20 orang tewas,” kata anggota parlemen India, Harsh Vardhan Shringla.
Perdana Menteri India, Narendra Modi, menyampaikan belasungkawa dan menyebut pemerintah “memantau situasi secara ketat”. Namun, seperti halnya di Nepal, publik menilai tindakan konkret baru muncul setelah bencana menelan korban. Sistem peringatan dini di kawasan pegunungan India utara dinilai masih bergantung pada laporan lokal, bukan sistem otomatis berbasis satelit.
Di tengah gempuran bencana iklim yang makin sering terjadi, kedua negara seolah belum belajar dari masa lalu. Infrastruktur tanggul, kanal, dan jalur evakuasi di daerah pegunungan tetap minim, sementara kebijakan antisipasi hanya muncul saat korban sudah berjatuhan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan