JAWA TIMUR – Tragedi ambruknya bangunan musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, menorehkan luka mendalam sekaligus tanda tanya besar atas lemahnya pengawasan konstruksi fasilitas pendidikan keagamaan. Hingga Senin malam (06/10/2025), jumlah korban tewas terus bertambah menjadi 66 orang, termasuk 7 di antaranya hanya berupa potongan tubuh (body part), menurut laporan resmi Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Meski tim SAR terus bekerja keras mengevakuasi korban, publik kini menyoroti sisi lain dari tragedi ini bagaimana bangunan yang seharusnya menjadi tempat ibadah dan pembinaan moral bisa runtuh begitu cepat dan menelan puluhan nyawa.
Direktur Operasi Basarnas, Laksamana Pertama TNI Yudhi Bramantyo, melaporkan bahwa korban terbaru ditemukan di sektor A2 (area wudu) dan sektor A3 (bagian belakang bangunan). “Hingga laporan terakhir, total terdapat 13 korban, 2 body part berhasil diekstrikasi dilanjutkan evakuasi pada H-8 di sektor A3 dan A2,” ujarnya.
Namun di tengah detail teknis evakuasi yang disampaikan aparat, tidak ada penjelasan memadai dari pihak berwenang tentang penyebab utama ambruknya bangunan tersebut. Apakah karena kelalaian konstruksi, lemahnya pengawasan, atau pelanggaran standar keselamatan bangunan, semua masih kabur di balik tumpukan puing.
Data Basarnas mencatat, proses pencarian pada Senin (06/10/2025) berlangsung maraton. Satu demi satu korban ditemukan dalam rentang waktu pukul 03.35 hingga 21.03 WIB. “Secara beruntun masing-masing satu korban berhasil ditemukan dan diekstrikasi dari sektor A2 pada pukul 13.28 WIB, 13.29 WIB, dan 14.40 WIB,” tutur Bramantyo.
Namun, di balik angka-angka yang disampaikan, masyarakat menuntut jawaban lebih penting daripada sekadar laporan waktu evakuasi. Publik ingin tahu, siapa yang harus bertanggung jawab atas bangunan rapuh yang menelan puluhan santri dan pengajar ini.
Sebagian pemerhati tata bangunan menilai, insiden di Ponpes Al Khoziny memperlihatkan rapuhnya sistem pengawasan terhadap fasilitas keagamaan yang banyak berdiri tanpa izin bangunan yang layak. Dalam banyak kasus, pembangunan dilakukan secara swadaya tanpa pengawasan teknis memadai dari pemerintah daerah.
Kini, 104 orang yang selamat mungkin bisa bernapas lega, namun 66 nyawa yang melayang menjadi alarm keras bagi semua pihak, terutama pemerintah dan lembaga keagamaan, untuk meninjau ulang standar keselamatan bangunan pesantren di seluruh Indonesia.
Selama bertahun-tahun, banyak pesantren berkembang pesat tanpa dukungan teknis memadai dari instansi terkait. Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar catatan berita duka. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan