BENGKULU – Tragedi kembali terjadi di Rejang Lebong. Seorang pria bernama Feri (40) tewas di tangan ayah kekasihnya sendiri hanya karena persoalan asmara yang tidak direstui. Kasus ini memperlihatkan bagaimana kekerasan masih dijadikan jalan pintas dalam menyelesaikan persoalan pribadi di tengah lemahnya kontrol sosial dan nilai hukum di masyarakat.
Peristiwa berdarah itu terjadi di Desa Air Meles Atas, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, pada Selasa (07/10/2025) sekitar pukul 21.00 WIB. Feri datang ke rumah kekasihnya, Helen (38), namun kunjungan itu berubah menjadi tragedi.
“Korban Feri berpacaran dengan anak pelaku, saat ke rumah (pelaku), terjadi cekcok mulut hingga korban ditikam ayah pacarnya (ayah dari Helen),” kata Kasi Humas Polres Rejang Lebong, AKP Sinar Simanjuntak, dilansir detikSumbagsel, Kamis (09/10/2025).
Pelaku bernama Samsudin (50) disebut terlibat adu mulut sebelum akhirnya mengeluarkan senjata tajam dan menusukkan ke dada korban. Dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP), polisi menemukan tanda-tanda kekerasan dengan luka tusuk di bagian dada. Tubuh korban ditemukan sekitar 50 meter dari rumah pelaku.
“Hubungan antara korban dengan Helen merupakan sepasang kekasih. Sedangkan hubungan antara pelaku dengan Helen yaitu pelaku merupakan orang tua kandung dari Helen. Motif pembunuhan tersebut diduga pelaku tidak merestui hubungan antara korban dengan anaknya,” jelas Sinar.
Namun, di balik kasus ini tersimpan ironi sosial yang lebih dalam. Di banyak daerah, konflik keluarga atau hubungan asmara kerap diselesaikan dengan emosi dan kekerasan, bukan melalui dialog atau hukum. Ketika restu menjadi soal harga diri, hukum kerap tersingkir dari meja penyelesaian.
Pembunuhan Feri menambah panjang daftar kasus kekerasan interpersonal di Indonesia yang dipicu oleh faktor emosional. Penegakan hukum sering kali datang terlambat, hanya setelah korban kehilangan nyawa. Masyarakat yang mestinya menegakkan nilai-nilai penyelesaian damai justru membiarkan kekerasan menjadi “solusi cepat” di tengah lemahnya kesadaran hukum.
Tragedi ini bukan sekadar soal cinta yang gagal direstui, tapi cerminan dari kegagalan sosial dalam mengendalikan emosi, menyelesaikan konflik, dan menegakkan hukum. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan