WASHINGTON – Kehadiran militer Amerika Serikat (AS) kembali menimbulkan tanda tanya di tengah gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Alih-alih menunjukkan niat murni mendukung perdamaian, pengerahan 200 tentara AS justru dipandang sebagian pengamat sebagai bentuk pengawasan terselubung terhadap kawasan yang selama ini menjadi kepanjangan tangan kebijakan luar negeri Washington di Timur Tengah.
Seorang pejabat senior AS mengatakan kepada kantor berita The Associated Press bahwa pasukan tersebut akan dikirim ke Israel untuk membantu memantau implementasi kesepakatan gencatan senjata. Dilansir Aljazeera, Jumat (10/10/2025), pejabat yang tidak disebutkan namanya itu menyebut Komando Pusat AS akan mendirikan “pusat koordinasi sipil-militer” di wilayah Israel.
Langkah ini dinilai mempertegas posisi Amerika bukan sekadar penengah, melainkan pengendali proses perdamaian. Meskipun disebut “sipil-militer”, banyak pihak menilai pusat koordinasi tersebut berpotensi menjadi ruang operasi strategis yang memantau situasi politik dan keamanan Gaza dengan tujuan yang lebih luas dari sekadar kemanusiaan.
Pejabat itu menyatakan komando tersebut akan membantu memfasilitasi aliran bantuan kemanusiaan serta dukungan logistik dan keamanan ke Gaza. Ia juga menegaskan tidak ada pasukan AS yang akan dikirim langsung ke wilayah Palestina. Pernyataan ini menimbulkan keraguan, sebab pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa operasi “pendukung” semacam ini sering kali diikuti oleh keterlibatan militer lebih jauh.
Pasukan AS tersebut disebut akan menjadi bagian dari tim multinasional yang melibatkan negara-negara mitra, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta. Namun, langkah ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana keterlibatan “mitra” itu bersifat mandiri, atau justru mengikuti agenda politik Washington? Tahun lalu, AS juga mengerahkan sekitar 100 tentara ke Israel untuk membantu mengoperasikan sistem pertahanan udara negara tersebut.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menandatangani fase pertama perjanjian Gaza. “Saya bangga mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menandatangani tahap pertama rencana perdamaian kami,” kata Trump.
“Ini berarti semua tahanan akan segera dibebaskan, dan Israel akan menarik pasukannya ke garis yang disepakati, sebagai langkah pertama menuju perdamaian yang kuat, langgeng, dan berkelanjutan,” imbuh Trump.
Meski terdengar optimistis, langkah Trump kembali dinilai politis. Banyak analis beranggapan pengumuman ini bukan sekadar keberhasilan diplomasi, tetapi bagian dari strategi memperkuat pengaruh AS di kawasan yang tengah rapuh secara geopolitik.
Trump juga menulis di media sosial Truth Social bahwa “semua pihak akan diperlakukan secara adil”. Namun, janji itu sulit dipercaya mengingat kebijakan Washington selama ini kerap berpihak pada Tel Aviv.
“Ini adalah hari yang luar biasa bagi dunia Arab dan Islam, bagi Israel, bagi semua negara tetangga, dan bagi Amerika Serikat. Kami berterima kasih kepada para mediator dari Qatar, Mesir, dan Turki yang telah bekerja sama dengan kami untuk mencapai peristiwa bersejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya ini. Seluruh apresiasi kami sampaikan kepada para pembawa perdamaian,” tandas Trump.
Di balik narasi “perdamaian”, kehadiran ratusan tentara AS justru menimbulkan kekhawatiran baru: apakah ini awal dari stabilitas, atau sekadar kelanjutan dari ketergantungan kawasan pada kekuatan militer asing? Bagi sebagian pengamat, pengerahan ini menegaskan satu hal bahwa gencatan senjata tanpa kedaulatan hanya akan menjadi panggung bagi kekuatan besar memainkan perannya. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan