JAWA BARAT – Tawuran antara dua kelompok remaja yang menamakan diri ‘Depok Bad Boys’ dan ‘Depok All Base’ di Jalan Kejayaan Raya, Depok, kembali menegaskan bahwa kekerasan jalanan telah menjadi rutinitas yang dibiarkan tumbuh di tengah lemahnya pengawasan aparat dan lingkungan sosial. Aksi brutal yang melibatkan sekitar 40 remaja bersenjata tajam dan bom molotov itu terjadi pada Rabu (08/10/2025) dini hari.
Menurut Kasi Humas Polres Metro Depok AKP Made Budi, dua geng tersebut masing-masing beranggotakan sekitar 20 orang. “Adapun dua kelompok remaja yang melakukan aksi tawuran tersebut, kelompok ‘Depok Bad Boys’ sekitar 20 orang dan kelompok ‘Depok All Base’ sekitar 20,” ujarnya, Jumat (10/10/2025).
Ia menjelaskan, kelompok ‘Depok Bad Boys’ menggunakan samurai, celurit, dan parang, sementara ‘Depok All Base’ juga membawa senjata tajam dan bom molotov. Meski tak ada korban jiwa, fakta bahwa remaja bisa bebas membawa bahan peledak di jalan umum jelas menunjukkan kegagalan pengawasan keamanan.
Peristiwa ini kembali menjadi ironi di kota yang dikenal dengan banyaknya sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan agama. Di tengah kemajuan teknologi dan gencarnya kampanye moral, Depok justru menjadi panggung bagi kekerasan anak muda yang lebih mengenal geng daripada tanggung jawab sosial.
Pernyataan polisi untuk meningkatkan patroli terdengar seperti pengulangan janji lama. “Tentunya kami akan terus intensifkan patroli untuk antisipasi kejadian berulang,” kata Made. Namun, publik tahu, hampir setiap pekan Depok diwarnai bentrok remaja dengan pola yang sama: malam hari, senjata tajam, dan tanpa efek jera.
Masalah ini bukan lagi sekadar soal patroli, melainkan krisis sosial dan lemahnya kontrol keluarga serta sekolah. Aparat seolah hanya menunggu tawuran terjadi baru kemudian bertindak, tanpa strategi nyata untuk membendung bibit kekerasan yang terus merekrut anak-anak muda baru di media sosial dan jalanan.
Jika tren ini dibiarkan, Depok bukan lagi kota pendidikan, melainkan laboratorium kekerasan remaja. Polisi, pemerintah daerah, dan masyarakat harus berhenti menormalisasi tawuran sebagai “kenakalan remaja” dan mulai memperlakukan fenomena ini sebagai ancaman sosial yang serius. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan