PAPUA PEGUNUNGAN — Tanah Papua kembali berduka. Seorang prajurit TNI Angkatan Darat, Letda Inf Fauzy Ahmad Sulkarnain (23), gugur dalam kontak tembak dengan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, pada Sabtu (11/10/2025). Fauzy merupakan anggota Satgas Pamtas Statis RI-PNG Yonif 753/AVT, pasukan yang bertugas menjaga perbatasan namun juga sering terseret dalam konflik yang tak kunjung usai.
“Saya terima kabar (Letda Fauzy gugur) itu kemarin sore,” kata ayah korban, Serma Sulkarnain, dengan suara bergetar kepada wartawan, Senin (13/10/2025). Ia mengaku tidak mengetahui detail kejadian yang menewaskan putra sulungnya itu. “Terakhir komunikasi Jumat, ngobrol menanyakan kabar. Anak saya itu (Fauzy) tidak pernah menyusahkan, tidak pernah marahi adiknya,” ujarnya mengenang.
Jenazah Letda Fauzy, alumni Akademi Militer tahun 2023, akan diterbangkan ke kampung halamannya di Pangkep, Sulawesi Selatan, untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Mangilu, Kecamatan Bungoro. “Informasi besok pagi (hari ini) antara jam 09.00 atau jam 11.00 WIT diberangkatkan dari sana (Papua). Rencananya dimakamkan di TMP Bungoro,” kata sang ayah.
Namun di balik upacara militer dan penghormatan terakhir, pertanyaan besar menggantung di udara: sampai kapan konflik di Papua akan terus menelan korban muda seperti Fauzy? Setiap laporan tentang gugurnya prajurit atau serangan OPM selalu ditutup dengan janji “penegakan hukum” dan “penindakan tegas,” tapi hasilnya nihil. Kekerasan seolah berulang dalam lingkaran tanpa ujung.
Pemerintah sering menyebut operasi militer di Papua sebagai “penjagaan kedaulatan negara,” namun bagi masyarakat lokal, bunyi tembakan bukan lagi simbol keamanan, melainkan tanda bahaya yang menghantui kehidupan sehari-hari. Setiap prajurit muda yang dikirim ke pedalaman Papua membawa idealisme, tapi sering kali pulang dalam peti jenazah menjadi korban dari kebijakan yang tak pernah benar-benar menyentuh akar masalah: ketidakadilan, kemiskinan, dan keterasingan masyarakat Papua di negeri sendiri.
Gugurnya Letda Fauzy bukan hanya kehilangan bagi keluarga dan kesatuan, tetapi juga cermin kegagalan negara menjaga perdamaian di wilayah yang terus diklaim “aman terkendali.” Setiap tragedi seperti ini seharusnya tidak berhenti di seremoni pemakaman dan liputan singkat di media. Yang dibutuhkan adalah introspeksi: mengapa setelah puluhan tahun operasi militer, Papua masih tetap menjadi medan konflik?
Selama pemerintah hanya menjawab peluru dengan peluru, Papua akan terus berdarah, dan generasi muda seperti Fauzy akan terus berjatuhan bukan demi perang, tetapi demi kebijakan yang tak pernah menuntaskan akar persoalan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan