Pemusnahan Barang: Apakah Efektifkah?

NUNUKAN – Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean C Nunukan kembali memusnahkan berbagai barang hasil tegahan pada Selasa (14/10/2025). Aksi pemusnahan yang digelar secara seremonial itu seolah menjadi simbol keberhasilan penegakan hukum di wilayah perbatasan. Namun, di balik api yang membakar barang senilai hampir Rp 1 miliar, terselip pertanyaan: seberapa efektifkah langkah ini dalam memberantas penyelundupan dan melindungi ekonomi masyarakat?

Kepala KPPBC Nunukan, Danang Seno Bintoro, menjelaskan bahwa hasil tegahan tersebut merupakan hasil operasi bersama antara Bea Cukai Nunukan dengan Lanal Nunukan, Polres Nunukan, Satgas Pamtas RI–Malaysia, Kodim 0911/Nunukan, dan Polsek KSKP Nunukan selama periode 2024 hingga September 2025.

“Barang hasil tegahan berupa karpet sebanyak 24 lembar akan kita hibahkan ke Pemerintah Kabupaten Nunukan. Untuk barang-barang hasil tegahan lainnya telah mendapatkan persetujuan untuk dilakukan pemusnahan oleh Menteri Keuangan,” ujar Danang.

Barang-barang yang dimusnahkan mencakup hasil tembakau, minuman beralkohol, pakaian bekas impor, kosmetik tanpa izin BPOM, hingga bahan kimia pertanian. Nilainya ditaksir mencapai Rp 967 juta, dengan potensi kerugian negara sekitar Rp 436 juta.

Barang-barang tersebut dimusnahkan dengan berbagai cara: dibakar, digiling, hingga dipendam di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mamolo Nunukan. Bea Cukai juga menyiarkan prosesnya secara langsung agar masyarakat tidak menuduh adanya penjualan kembali barang sitaan.

Namun, aksi pemusnahan besar-besaran ini menimbulkan kritik tersendiri. Di satu sisi, langkah Bea Cukai dianggap menunjukkan ketegasan negara dalam menegakkan aturan impor dan melawan penyelundupan. Namun di sisi lain, publik mempertanyakan mengapa sebagian barang, terutama yang masih layak, tidak dialihkan untuk kepentingan sosial, pelatihan, atau daur ulang alih-alih dibakar dan ditimbun.

Dalam konteks ekonomi perbatasan seperti Nunukan yang bergantung pada perdagangan lintas batas, tindakan “pemusnahan total” juga dianggap kontradiktif. Barang-barang seperti pakaian bekas, kosmetik, hingga minyak pelumas bisa saja disterilisasi atau dimanfaatkan kembali melalui mekanisme hukum yang lebih adaptif.

“Sebagian besar barang yang hari ini kita musnahkan berasal dari hasil penindakan bersama Bea Cukai Nunukan dengan aparat penegak hukum di wilayah perbatasan,” kata Danang menegaskan kembali komitmennya.

Meski demikian, wacana publik kini bergerak pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah fungsi “Community Protector” yang diemban Bea Cukai sudah benar-benar berpihak pada masyarakat perbatasan, atau hanya berhenti pada upacara simbolik yang menampilkan ketegasan, tapi menyia-nyiakan potensi ekonomi yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat?

Di tengah keterbatasan ekonomi warga perbatasan, pemandangan tumpukan barang yang dibakar yang sebagian masih layak pakai tampak lebih seperti potret ironi. Sebuah kebijakan yang mungkin tegas di atas kertas, namun kehilangan sisi kemanusiaan di lapangan. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com