Sidang TPPU, Fakta Terbalik

PALANGKA RAYA – Ruang sidang Pengadilan Negeri Palangka Raya mendadak riuh ketika Siti Komariah alias Kokom, mantan istri terdakwa Salihin alias Saleh, menarik kembali pernyataannya di berita acara pemeriksaan (BAP). Di hadapan majelis hakim yang diketuai Yudi Eka Putra, perempuan itu menyatakan tak tahu-menahu soal dugaan suaminya sebagai bandar narkoba.

“Saya tidak mengetahui, Yang Mulia,” ucap Kokom tenang, menjawab pertanyaan hakim pada sidang lanjutan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Saleh, Senin (13/10/2025).

Pernyataan itu langsung memicu reaksi. “Masak? Ini keteranganmu lho, kamu diperiksa gak?” balas Hakim Yudi, tampak tak percaya mendengar pengakuan sang saksi.

Namun Kokom bergeming. Ia mengaku sudah tak peduli dengan perkara mantan suaminya itu. “Waktu itu saya sudah resmi cerai,” ujarnya, menyebut dirinya pernah dinikahi siri oleh Saleh pada 2015 dan bercerai sekitar tahun 2023.

Kokom kini menjalani hukuman 6 tahun penjara di Lapas Perempuan Palangka Raya karena kasus narkotika. Ironinya, justru dari balik jeruji, ia menjadi saksi dalam perkara yang menyeret orang yang pernah mengikat hidup dengannya.

Selain Kokom, jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejati Kalimantan Tengah juga menghadirkan dua saksi lain, yakni Ida Bagus Made Suprayatna, pemilik awal ruko dua lantai di Jalan dr. Murdjani yang dibeli Saleh, serta Risaldy Syahrir, petugas BNN RI yang terlibat dalam dua kali operasi penangkapan terdakwa.

Meski dihadirkan untuk memperkuat dakwaan, sidang justru membuka sisi lain: rapuhnya kesaksian, kaburnya fakta, dan lemahnya konsistensi dalam proses hukum.

Bagaimana mungkin saksi yang sebelumnya memberikan keterangan di BAP kini menarik pernyataannya di ruang sidang tanpa penjelasan mendalam? Apakah ada tekanan, atau sekadar strategi menyelamatkan diri? Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.

Jaksa Dwinanto Agung Wibowo tetap teguh dengan dakwaannya. Ia menyebut, Saleh diduga melakukan tindakan menyimpan, mengalihkan, menyamarkan, hingga menukarkan hasil harta kekayaan yang berasal dari peredaran narkotika.

Dakwaan yang dijerat pun berlapis: pelanggaran UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun tanpa kesaksian yang solid, publik kembali dihadapkan pada ironi klasik: hukum yang kuat di teks, tapi lemah di panggung sidang.

Kasus ini seolah menegaskan bahwa ruang pengadilan kerap kali tak hanya menjadi tempat mencari kebenaran hukum, tetapi juga arena tarik-menarik kepentingan dan perubahan narasi.
Kokom, yang dulu berperan sebagai saksi penting, kini mengubah arah cerita.

Di tengah proses panjang penegakan hukum narkotika dan pencucian uang di Indonesia, peristiwa ini menjadi gambaran nyata: bukan hanya uang yang bisa dicuci—tetapi juga kesaksian. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com