Tiga Pemuda, Tiga Nyawa, Satu Desa Luka

BALI — Luka sosial di lereng Kintamani kembali menganga. Tiga warga Banjar Tabu, Desa Songan, ditetapkan sebagai tersangka dalam perkelahian maut yang menewaskan dua kakak beradik dan satu kerabat mereka. Kasus yang bermula dari konflik lokal itu kini berubah menjadi simbol getirnya kekerasan komunal di pedesaan Bali daerah yang ironisnya dikenal dunia sebagai “pulau damai”.

Polres Bangli memastikan tiga pelaku, yakni I Ketut Arta alias Mangku Arta (29), Jero Wage (40), dan Mangku Bersi (33), dijerat dengan Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 subsider Pasal 170 ayat 2 ke-3 KUHP dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.
“Kemarin malam mulai ditahan sebagai tersangka, pasal 338 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 subsider pasal 170 ayat 2 ke 3 ancaman 15 tahun,” ujar Kasi Humas Polres Bangli Iptu I Ketut Gede Ratwijaya seizin Kapolres Bangli, AKBP James I.S. Rajagukguk, Selasa (14/10/2025).

Ketiga tersangka berasal dari banjar yang sama dengan korban: I Ketut Kartawa (50), Jero Sumadi (47), dan I Wayan Ruslan (53). Polisi menyebut telah memeriksa sejumlah saksi dan menunggu hasil autopsi. “Selain menetapkan tersangka, kami juga sudah periksa tiga saksi, akan periksa dua lagi. Korban sudah diautopsi, tapi kami belum terima hasilnya,” kata Ratwijaya.

Namun, narasi yang beredar di lapangan justru memperlihatkan potret kelam lain: perselisihan yang seharusnya dapat diselesaikan dengan dialog, berubah menjadi duel berdarah yang menunjukkan betapa kekerasan masih dijadikan cara terakhir menyelesaikan masalah di desa.

Sejumlah warga menyebut korban sempat membawa senjata tajam namun melemparkannya ke arah pelaku dan meleset. Saat itulah pelaku dengan leluasa menyerang balik. “Itu memang murni satu lawan satu. Tetapi karena para korban telah melempar senjatanya, jadi pelaku menghabisi korban menggunakan senjata. Pertarungannya satu lawan satu, tidak keroyokan,” ungkap salah satu sumber di lapangan.

Fakta bahwa para korban berusia lebih tua antara 47 hingga 53 tahun berhadapan dengan pelaku muda, salah satunya bahkan seorang pelatih bela diri, menimbulkan tanda tanya besar tentang makna keadilan dalam tragedi ini. Apakah ini masih bisa disebut “pertarungan adil”?

Bali yang selama ini dielu-elukan sebagai pusat spiritualitas dan harmoni sosial tampak tak berdaya menahan derasnya arus kekerasan lokal yang terus berulang. Di balik ritual dan upacara adat yang megah, tersimpan konflik laten yang bisa meledak kapan saja hanya karena harga diri atau perselisihan sepele.

Kasus Songan menjadi cermin bahwa perdamaian bukan sekadar simbol budaya, tetapi tanggung jawab sosial yang kini mulai tergerus. Ketika perkelahian berdarah dianggap “urusan banjar”, maka keadilan pun kehilangan arah di tengah kabut Kintamani. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com