BANJARMASIN – Ledakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pneumonia pada balita di Kalimantan Selatan (Kalsel) semakin mengkhawatirkan. Namun, tanggapan dari pihak berwenang terkesan datar dan reaktif. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalsel mencatat, sepanjang September 2025 terdapat 1.856 kasus pneumonia balita, naik signifikan dibanding bulan-bulan sebelumnya. Meski data sudah tersedia, langkah konkret di lapangan tampaknya belum maksimal.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kalsel, Anhar Ihwan, pada Selasa (14/10/2025) menyebut cuaca ekstrem sebagai penyebab utama peningkatan kasus. “Faktornya karena kondisi cuaca kita cukup ekstrem. Kadang panas, kadang hujan. Itu berpengaruh terhadap daya tahan tubuh, terutama anak-anak,” ujarnya.
Pernyataan itu seolah menempatkan alam sebagai kambing hitam, padahal penanganan kesehatan masyarakat tidak bisa semata diserahkan pada faktor cuaca. Kenaikan kasus ini justru menunjukkan lemahnya sistem pemantauan dini dan rendahnya kesiapsiagaan kesehatan dasar di sejumlah daerah.
Lebih parah lagi, pendataan kasus di Banjarmasin belum lengkap. “Masih ada puskesmas yang belum melapor. Untuk Kabupaten Banjar, data dari rumah sakit juga baru masuk setelah infografis dibuat,” kata Anhar menambahkan.
Keterlambatan laporan ini mengindikasikan persoalan klasik: koordinasi buruk antarinstansi kesehatan di tingkat daerah. Padahal, data yang tidak mutakhir dapat memperlambat langkah pencegahan dan penanganan.
Menurut data Dinkes Kalsel, Kabupaten Banjar, Tapin, dan Kota Banjarbaru menjadi wilayah dengan jumlah pneumonia balita tertinggi, masing-masing 235, 264, dan 148 kasus. Sedangkan Banjarmasin mencatat 174 kasus, dengan capaian tata laksana standar terendah, yakni 67,82 persen. Fakta ini memperlihatkan ketimpangan kualitas pelayanan kesehatan antarwilayah di provinsi yang sama.
Meski dari sisi pengobatan rata-rata pemberian antibiotik mencapai 96,15 persen, melampaui target nasional 95 persen, angka ini tidak bisa menutupi kelemahan mendasar: pencegahan yang gagal dilakukan. Penanganan kuratif yang tinggi justru menjadi cermin kegagalan upaya preventif.
Beberapa daerah seperti Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tanah Bumbu, dan Balangan memang mencatat penanganan 100 persen. Tetapi capaian itu tidak akan berarti banyak bila penemuan kasus terus meningkat setiap bulan. Sementara itu, Kabupaten Batola bahkan belum melaporkan data periode September 2025.
Sikap ini memperlihatkan lemahnya kesadaran dan tanggung jawab sebagian pemerintah daerah terhadap kesehatan warganya. Di tengah meningkatnya risiko penyakit pernapasan, ketidakterbukaan data justru menjadi ancaman tambahan.
Dinkes Kalsel memang mengimbau masyarakat untuk mewaspadai gejala ISPA seperti batuk, pilek, demam, dan sesak napas. “Pencegahan bisa dilakukan lewat pola hidup bersih, imunisasi, dan penggunaan masker, terutama saat kualitas udara memburuk,” ujar Anhar.
Namun imbauan semata tidak cukup tanpa intervensi nyata. Pemerintah seharusnya memperkuat surveilans kesehatan, memperluas akses imunisasi, dan memperbaiki pelaporan puskesmas secara digital agar tidak ada data yang tercecer. Jika pola ini terus berulang, Kalsel akan terus bergelut dengan wabah musiman yang bisa dicegah sejak dini. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan