JAKARTA — Aksi brutal seorang pria di Jatinegara, Jakarta Timur, yang membakar istrinya sendiri, membuka luka lama soal lemahnya perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan domestik. Kasus ini bukan sekadar “suami gelap mata”, melainkan bukti betapa mudahnya kekerasan terhadap perempuan kembali dianggap urusan pribadi rumah tangga sampai tubuh korban hangus dan nyawa hampir melayang.
Peristiwa itu terjadi di Jalan Otista Raya, Bidara Cina, Jatinegara, pada Selasa (14/10/2025) siang. Korban, CAU (24), kini dirawat intensif di Rumah Sakit Hermina Jatinegara akibat luka bakar parah di wajah dan tubuhnya. Polisi tengah memburu pelaku yang melarikan diri setelah melakukan aksi keji tersebut.
“Pelaku masih dalam pengejaran,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Timur, AKBP Dicky Fertoffan, pada Rabu (15/10/2025). Polisi telah memeriksa saksi dan mengumpulkan bukti di lokasi kejadian. Namun pertanyaannya: mengapa seseorang dengan rekam jejak kekerasan di lingkungan yang sama bisa dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan aparat?
Warga Bidara Cina, seperti Nia, menyebut pelaku dikenal kerap berbuat onar. “Saya kurang tahu motif peristiwa, tapi pokoknya suaminya itu membakar istrinya, kejadiannya siang,” ujarnya. Pernyataan itu bukan sekadar informasi, tapi tamparan sosial: pelaku dikenal berbahaya, namun tetap bebas berkeliaran di tengah masyarakat.
Ketua RW 06 Bidara Cina, Helmi, bahkan mengingatkan, pelaku pernah merusak gerobak bubur ayam dengan celurit setelah enggan membayar semangkok bubur seharga Rp 5.000. “Informasinya seperti itu, (pelaku pernah menyerang pedagang), berharap sih pelaku segera ditangkap,” ujarnya. Kasus tersebut sempat viral pada April 2024, tetapi tidak ada proses hukum yang tegas. Kini, pembiaran itu berbuah tragedi.
Kapolres Metro Jakarta Timur, Kombes Alfian Nurizzal, menjelaskan korban kini dirujuk ke RSCM untuk penanganan lanjutan. “Kita sudah buatkan dan alhamdulillah dari pelayanan kesehatan bisa kita bantu, ini rencana kita rujuk ke RSCM untuk mendapatkan penanganan secara medis,” katanya pada Rabu (15/10/2025). Ia menambahkan, “Karena kan muka, jadi mungkin harus dilakukan operasi plastik, saya juga kurang paham karena urusan medis ya, penanganannya. Tentunya kita harus mengutamakan korban dulu.”
Namun di balik semua pernyataan resmi, publik melihat pola lama berulang: kekerasan terhadap perempuan terus meningkat, pelaku kerap memiliki riwayat kekerasan, tetapi tindakan pencegahan nyaris nihil. Laporan dan keluhan masyarakat sering berujung pada pembiaran, sampai akhirnya korban menjadi berita utama.
Kisah CAU adalah peringatan keras. Negara tak boleh hanya muncul setelah darah tertumpah dan luka membekas. Ketika hukum gagal melindungi di tahap pencegahan, tragedi seperti ini bukan kecelakaan, melainkan akibat dari kelalaian sistemik dari penegakan hukum yang tumpul, hingga budaya diam yang menormalisasi kekerasan di rumah tangga. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan