Biodiesel dari Tanah yang Dirampas

Di balik ambisi energi hijau melalui proyek biodiesel PT Jhonlin Agro Raya Tbk. (JARR), tersimpan kisah kelam dari Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Salah satu pemasok utamanya, PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), terjerat sengketa lahan dan dugaan kongsi janggal dengan BUMN Inhutani II. Warga yang menuntut keadilan justru dikriminalisasi, sementara perusahaan terus menyalurkan minyak sawit bernilai ratusan miliar ke pabrik biodiesel yang diresmikan Presiden. Di tengah gencarnya kampanye energi ramah lingkungan, biodiesel yang lahir dari konflik ini menyisakan ironi: energi hijau yang dibangun di atas tanah rakyat yang direbut.

KOTABARU – Tujuh tahun sudah berlalu, tapi ingatan Ratman terhadap peristiwa 2018 tetap membekas. Ia bukan kriminal, bukan penjahat. Hanya seorang warga Pulau Laut, Kalimantan Selatan, yang bersuara menentang ketidakadilan. Namun suara itu justru menjerumuskannya ke jeruji besi. Ia dituduh mencemarkan nama baik PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) setelah berorasi di DPRD Kalimantan Selatan padahal tujuannya hanya meminta wakil rakyat menghentikan dugaan penyerobotan lahan oleh perusahaan.

Ironi itu terjadi di hadapan hukum yang seharusnya melindungi rakyat kecil. Ratman dituduh melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan fitnah. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotabaru menjatuhkan hukuman penjara 2 bulan 20 hari pada 28 November 2018. “Saya orasi minta bantuan Dewan (DPRD) agar menghentikan perusahaan. Omongan saya itu ada dasarnya. Karena masyarakat dizalimi. Perusahaan tidak ada komunikasi ke RT dan Desa,” ujar Ratman dilansir seperti dilansir dari Independen.id.

Kasus Ratman ternyata bukan satu-satunya. Di Pulau Laut, banyak warga yang kini kehilangan tanahnya tanah yang bersertifikat resmi dari negara melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Namun sertifikat itu, yang dahulu dibagikan langsung oleh Presiden Joko Widodo, seolah tak berarti di hadapan kepentingan perusahaan besar. “Bagi kami, masyarakat biasa, petani, harusnya sertifikat (menjadi bukti kepemilikan) kuat. Tapi di lapangan, ternyata tidak berarti,” ujar Imron, salah satu warga yang menjadi korban penggusuran.

Investigasi IndonesiaLeaks menemukan bahwa penggusuran demi penggusuran terjadi secara sistematis. Warga yang berani protes, tak jarang dihadapkan dengan aparat kepolisian. Beberapa bahkan dijerat dengan pasal pidana atau Undang-Undang ITE. Pola ini memperlihatkan ironi hukum di negeri yang mengaku menjunjung keadilan sosial.

Ansor, warga Pulau Laut Tengah, menjadi contoh lain. Ia mengaku pernah dipanggil polisi usai warga menyita alat berat milik MSAM yang masuk ke kebun mereka. Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, Ansor justru diminta menjadi saksi. Lebih parah, saat negosiasi ganti rugi, uang yang dijanjikan Rp40 juta untuk 3 hektare lahan sawitnya hanya cair sebagian dan dibayarkan di kantor polisi. “Kalau dari jalan hauling, saya dapat kurang dari Rp10 juta. Pembayaran dilakukan di Polsek. ‘Ada apa?’ dalam hatiku begitu,” katanya heran.

Kasus serupa juga menimpa Syahbudin alias Abah Putra. Ia dijerat UU ITE karena dianggap menyebar hoaks tentang penggusuran lahan MSAM. Yang melaporkan bukan perusahaan, melainkan anggota polisi dari patroli siber bernama Askar. Hasilnya, Syahbudin divonis 1 tahun 2 bulan penjara dan denda Rp30 juta. Kritik warga terhadap korporasi, rupanya, bisa langsung dibungkam oleh algoritma hukum.

Sementara DPR sempat menyoroti tumpang tindih lahan antara MSAM dan warga Pulau Laut. Namun hasil kunjungan lapangan itu hanya berakhir pada laporan dan klaim penyelesaian administratif. Tak ada penjelasan tuntas mengapa hak rakyat begitu mudah dikalahkan oleh izin korporasi.

Pulau Laut bukan hanya menyimpan cerita tentang sawit dan sengketa tanah, tapi juga kisah tentang bagaimana izin, konsesi, dan persekutuan bisnis bisa menyingkirkan hak rakyat.

MSAM, yang kini menjadi bagian dari Jhonlin Group, memperoleh izin HGU seluas 10.553 hektare pada 2018. Namun data Sawit Watch menyebut MSAM menguasai hingga 14.333 hektare selisih hampir 4.000 hektare yang tak jelas status hukumnya. Di sisi lain, Inhutani II, perusahaan negara pemegang izin hutan alam, justru menandatangani perjanjian kerja sama dengan MSAM pada 19 Juni 2017 hanya sebulan setelah MSAM mencabut gugatan terhadap Menteri Kehutanan.

Perjanjian itu memberi MSAM hak eksklusif mengelola 14.333 hektare kawasan hutan dengan imbal hasil 7,5% bagi Inhutani. Ironisnya, HGU MSAM justru diterbitkan sebelum persetujuan pelepasan kawasan hutan keluar. Proses hukum dan administrasi tampak melompat-lompat seperti telah disiapkan sejak awal.

Namun hingga kini, tak ada satu pun dokumen resmi pelepasan kawasan hutan untuk lahan MSAM di Pulau Laut yang bisa ditemukan publik. KPK disebut sudah menerima laporan dugaan tumpang tindih lahan, tapi seperti banyak laporan lain, hasilnya menguap tanpa jejak.

Menambah keganjilan, nama dua pejabat aktif dalam kabinet Prabowo-Gibran, yakni Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo dan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, tercatat pernah memiliki saham di PT MSAM. Dody sempat mengaku tak tahu menahu soal perusahaan itu. “Waduh enggak tahu saya, MSAM itu apa ya?,” katanya ketika dikonfirmasi. Pernyataan itu menambah tanda tanya besar tentang transparansi dan etika pejabat publik yang terhubung dengan bisnis sawit.

Sementara Inhutani sebagai mitra BUMN MSAM justru bungkam. Hanya Sekretaris Perusahaan Perhutani, Sofiudin Nurmansyah, yang mengatakan perlu waktu untuk mempelajari data kasus di luar Jawa. “Aku perlu pastiin dulu, kalau yang luar Jawa aku paham data-datanya,” ujarnya singkat.

Dari catatan hukum, MSAM adalah anak perusahaan PT Eshan Agro Sentosa (EAS), entitas di bawah Jhonlin Group, konglomerasi yang identik dengan nama Haji Isam. EAS menguasai 99% saham MSAM, dan juga menjadi pemegang saham mayoritas PT Jhonlin Agro Raya Tbk (JARR) perusahaan biodiesel yang diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2021.

Hubungan antara MSAM dan JARR bukan sekadar bisnis biasa. Kedua entitas terhubung melalui kontrak pasokan CPO senilai ratusan miliar rupiah setiap tahun. Artinya, minyak sawit yang ditanam di lahan sengketa Pulau Laut, sangat mungkin menjadi bagian dari rantai produksi biodiesel nasional yang dibanggakan pemerintah.

Data prospektus JARR menunjukkan transaksi pembelian dari MSAM mencapai Rp393 miliar pada 2022 dan melonjak menjadi Rp450,2 miliar pada 2023. Namun tak satu pun lembaga negara mengaudit sumber bahan baku tersebut apakah bersih dari konflik lahan atau justru menumbuhkan ekonomi dari penderitaan rakyat.

Dalam konteks ini, kebijakan hilirisasi yang diagungkan pemerintah justru tampak seperti topeng industri yang menyembunyikan jejak perampasan tanah.

Saat Presiden Jokowi meresmikan pabrik biodiesel JARR di Batulicin, ia menyebut hilirisasi sawit sebagai bukti kemandirian energi nasional. Namun di balik pabrik megah bernilai Rp2 triliun itu, ada cerita rakyat Pulau Laut yang kehilangan kebun, rumah, dan keadilan.

Produksi biodiesel yang disebut “ramah lingkungan” sejatinya tidak benar-benar bersih jika bahan bakunya diambil dari tanah yang direbut. Ketika aparat diduga ikut menjaga kepentingan korporasi, dan rakyat dikriminalisasi karena bicara, maka energi yang dihasilkan sesungguhnya penuh noda.

Sampai kini, suara Ratman dan warga Pulau Laut belum mendapatkan keadilan. Laporan ke lembaga negara menguap tanpa tindak lanjut. Sementara perusahaan terus memperluas produksi dan meraup keuntungan. Negara tampak absen, atau sengaja berpaling.

Pulau Laut mungkin jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta. Tapi kisahnya menjadi cermin buram bagaimana hukum bisa berpihak pada modal, bukan pada rakyat yang berakar di tanahnya sendiri. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com