MARTAPURA – Kasus keracunan massal pelajar penerima Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Martapura pada Kamis (9/10/2025) menyoroti lemahnya pengawasan terhadap program gizi sekolah. Sebanyak 134 siswa dari beberapa sekolah, termasuk seorang kepala sekolah, mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG yang dikirim SPPG Tungkaran. Koordinator Wilayah (Korwil) Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kabupaten Banjar, Sinta Aulia, menyampaikan permohonan maaf kepada korban.
“Saya selaku koordinator wilayah Kabupaten Banjar meminta maaf sebesar-besarnya atas kejadian yang menimpa kemarin,” kata Sinta, Rabu (15/10/2025). Namun, permintaan maaf ini belum menjawab pertanyaan publik tentang mekanisme pengawasan yang jelas dan pertanggungjawaban hukum atas insiden tersebut.
Menu MBG yang disajikan berupa nasi kuning, ayam suwir, tempe orek, labu siam, dan satu potong melon, menyebabkan korban muntah dan harus mendapatkan perawatan di RSUD Ratu Zaleha Martapura. Kejadian ini memperlihatkan risiko hukum bagi pihak penyelenggara bila SOP Badan Gizi Nasional (BGN) tidak dijalankan secara ketat. Dalam hukum pidana, kelalaian yang menimbulkan keracunan massal dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kelalaian, diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang ancamannya hingga lima tahun penjara.
Belajar dari peristiwa itu, Sinta berjanji meningkatkan pengawasan di Dapur MBG. “Kami insya Allah meningkatkan lagi pengawasan agar tidak terulang kembali kejadian serupa dan semoga kami bisa memperbaiki dan menerapkan pelaksanaan MBG sesuai SOP dan petunjuk teknis (juknis),” ujarnya. Namun janji pengawasan saja belum cukup bila tidak disertai mekanisme pertanggungjawaban hukum, audit independen, dan tindakan hukum bila ditemukan kelalaian atau pelanggaran standar keamanan pangan.
Penyelidikan lebih lanjut dilakukan pihak kepolisian dengan mengambil sampel sisa makanan dan muntahan korban untuk diuji di Laboratorium Forensik Surabaya. Kapolda Irjen Pol Rosyanto Yudha Hermawan menyatakan pihaknya masih menunggu hasil labfor. Kejadian ini menekankan perlunya kepastian hukum: pihak yang lalai dalam penyediaan makanan bergizi untuk pelajar dapat dikenai sanksi pidana, termasuk kelalaian yang mengancam keselamatan anak-anak.
Tak hanya itu, tim investigasi BGN yang dipimpin Karimah Muhammad juga menelusuri dugaan adanya zat berbahaya di instalasi SPPG Tungkaran. Penyidikan dilakukan menyusul laporan temuan kandungan nitrat dalam menu yang disajikan. “Setelah melihat kondisi SPPG dan melakukan rapat internal tadi, kami harus mencari tahu penyebab kejadian kemarin. Buktinya ada pada kepala dinas kesehatan, dan malam ini kami akan memperoleh datanya. Setelah itu kami susun laporan resmi untuk dirilis ke media,” ujar Karimah. Kasus ini menunjukkan adanya potensi tanggung jawab pidana bagi penyelenggara jika terbukti ada kelalaian atau pengabaian standar keamanan pangan.
Peristiwa ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah dan pihak terkait: sistem pengawasan yang lemah berpotensi melanggar hukum pidana, dan korban, yaitu pelajar, tidak boleh menjadi pihak yang menderita akibat kelalaian institusi. Selain itu, kasus ini menimbulkan pertanyaan etis dan hukum terkait pengelolaan program MBG: siapa yang bertanggung jawab bila SOP tidak dijalankan, dan bagaimana mekanisme pertanggungjawaban dapat ditegakkan secara hukum?
Kritik publik terhadap pengawasan SPPG bukan semata emosional, tetapi berbasis hukum: anak-anak adalah kelompok rentan, dan hukum pidana mengakui perlunya perlindungan ekstra terhadap keselamatan mereka. Mengingat potensi ancaman pidana, pemerintah daerah wajib segera menyiapkan mekanisme hukum dan audit independen untuk memastikan insiden serupa tidak terulang.
Kasus keracunan ini menegaskan bahwa janji dan permintaan maaf saja tidak cukup. Harus ada langkah hukum yang jelas, baik dalam bentuk penegakan tanggung jawab administrasi maupun pidana. Di samping itu, koordinasi dengan Badan Gizi Nasional dan penegak hukum menjadi kunci untuk memastikan setiap dapur MBG memenuhi standar keamanan pangan dan melindungi hak-hak anak.
Puluhan pelajar yang mengalami keracunan menjadi pengingat bahwa hukum pidana dapat dan seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keselamatan publik. Jika SOP dan juknis diabaikan, bukan hanya kesehatan anak yang terancam, tetapi pihak penyelenggara juga bisa menghadapi konsekuensi hukum yang serius, termasuk pidana kelalaian dan tanggung jawab administratif.
Kejadian di Martapura menjadi cermin bagi pemerintah daerah: pengawasan MBG harus dilandasi kepatuhan hukum yang tegas. Tanpa itu, program gizi yang dimaksudkan untuk melindungi anak-anak justru berisiko menimbulkan korban dan konflik hukum. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan