BENGKAYANG – Pemerintah Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, bersama masyarakat adat menyatakan sikap tegas menolak rencana operasi PT Sinergi Tangguh Alam Lestari (PT STAR) yang berencana memanfaatkan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu di wilayah tersebut.
Bupati Bengkayang, Sebastianus Darwis, menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk menjaga hutan dan mencegah segala bentuk eksploitasi sumber daya alam yang berpotensi merugikan masyarakat.
“Kita siap menghadang siapa pun yang ingin merampas hutan kita yang hijau,” ujar Bupati pada rapat koordinasi bersama Forkopimda di Bengkayang, Kamis (17/10).
Menurutnya, Pemkab Bengkayang hingga kini belum menerima koordinasi resmi dari pihak PT STAR. Bahkan, sejumlah dinas terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Baperrida) serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bengkayang tidak memiliki data atau informasi apa pun terkait izin maupun kegiatan perusahaan tersebut.
Ia juga menyoroti adanya perwakilan pemerintah yang hadir dalam kegiatan sosialisasi perusahaan tanpa seizin Pemkab Bengkayang. “Kita sepakat untuk menolak seluruh rencana investasi PT STAR di Kabupaten Bengkayang, dengan komitmen menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru Bengkayang,” tegasnya.
Bupati menilai operasi PT STAR dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan, termasuk dampak ekologis dari sistem tanam monokultur yang berpotensi merusak keseimbangan alam.
Penolakan serupa juga disuarakan masyarakat adat Dayak Bidayuh Binua Sungkung. Ketua Komunitas Adat, Agus Herikustanto, menegaskan masyarakat adat tidak pernah mendapat penjelasan resmi maupun sosialisasi dari PT STAR.
“Kami, para tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemuda tidak pernah mengetahui keberadaan perusahaan ini, termasuk di mana kantornya. Tiba-tiba kami mendapat kabar mereka akan beraktivitas,” ujarnya.
Agus menyebut PT STAR disebut akan beroperasi di tiga kecamatan, yaitu Siding, Seluas, dan Jagoi Babang, dengan total luas mencapai 35.139 hektare. Di Kecamatan Siding, area operasional bahkan mencakup lima desa, yakni Siding, Tangguh, Hli Buei, Tamong, dan Tawang.
Masyarakat adat menilai aktivitas perusahaan dapat menimbulkan kerusakan hutan dan mengancam sumber air, menimbulkan risiko longsor, serta merusak kawasan hutan adat yang menjadi tumpuan hidup warga.
“Tanah di wilayah kami merupakan warisan leluhur yang sudah diusahakan turun-temurun. Jika perusahaan masuk, lahan kami akan menyempit, sumber air rusak, dan anak cucu kami kehilangan ruang hidup,” katanya.
Menurut Agus, pengalaman di daerah lain menunjukkan banyak kasus konflik sosial antara masyarakat dan perusahaan akibat investasi sejenis.
“Awalnya dijanjikan lapangan kerja atau bagi hasil, tapi ujung-ujungnya hak masyarakat diabaikan. Kami tidak ingin hal itu terjadi di sini,” ucapnya.
Agus menambahkan, masyarakat justru berharap perhatian pemerintah difokuskan pada pembangunan dasar seperti jalan, jembatan, air bersih, listrik, dan jaringan komunikasi, bukan pada investasi yang berpotensi merusak lingkungan.
Sebelumnya, PT STAR mengumumkan rencana pelaksanaan kegiatan usaha pemanfaatan hutan melalui Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Kabupaten Bengkayang. Dalam rencana itu, perusahaan berencana melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, jasa lingkungan, serta pengelolaan kawasan hutan secara berkelanjutan.
Sebagai bagian dari penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), PT STAR juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan Saran, Pendapat, dan Tanggapan (SPT) terhadap rencana tersebut. Namun, hingga kini, pemerintah daerah dan masyarakat menegaskan penolakannya terhadap aktivitas perusahaan tersebut di Bengkayang. []
Fajar Hidayat
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan