Izin Bakar Lahan: Kearifan atau Celah Baru Karhutla?

PALANGKA RAYA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah kembali menggaungkan strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berbasis kearifan lokal. Namun hingga kini, kebijakan itu masih bergulir di level wacana. Sebagian besar kabupaten dan kota belum menuntaskan peta lahan non-gambut fondasi utama untuk melegalkan pembukaan lahan dengan cara bakar terbatas.

Keterlambatan ini menimbulkan pertanyaan serius: seberapa siap sebenarnya pemerintah daerah menerapkan “kearifan lokal” tanpa menambah risiko bencana ekologis baru?

Plt Sekretaris Daerah Kalteng Leonard S Ampung menegaskan, pengendalian karhutla di Kalteng sudah memiliki dasar hukum yang kuat. “Upaya pengendalian karhutla berbasis kearifan lokal yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan itu harus ditindaklanjuti Bupati/Wali Kota dengan membuat peta lahan non-gambut, sebagai dasar pemberian izin membuka lahan dengan cara bakar,” ujarnya dalam rapat di Palangka Raya, Kamis (16/10/2025).

Leonard merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan serta Peraturan Gubernur Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pembukaan dan Pengelolaan Lahan Non-Gambut bagi Masyarakat Hukum Adat. Dua regulasi itu disebut sebagai dasar hukum yang memungkinkan pembukaan lahan secara terbatas dan terkendali.

Namun di lapangan, pelaksanaannya justru belum tampak. “Saya minta pembuatan peta diselesaikan paling lambat Desember 2025, sehingga awal tahun 2026 sudah bisa,” kata Leonard.

Ironinya, program yang digadang untuk mengatur “pembakaran terkendali” justru berpotensi menambah masalah baru jika dijalankan tanpa kesiapan teknis dan pengawasan ketat. Publik khawatir, izin membuka lahan dengan api malah menjadi celah legalisasi kebakaran atas nama tradisi.

Kepala Pelaksana BPBPK Kalteng, Ahmad Toyib, mengakui bahwa penyusunan peta lahan non-gambut masih jauh dari rampung, meski konsepnya sudah disusun sejak 2021.
“Melalui pemetaan ini kita sudah tahu di mana lokasi-lokasi yang termasuk lahan gambut dan bukan gambut di setiap kabupaten. Jadi ketika ada masyarakat yang ingin mengajukan izin membakar dengan persyaratan ketat, pemerintah bisa menentukan sejak awal apakah lahannya termasuk gambut atau bukan,” jelasnya.

Toyib menambahkan, dasar hukum ini penting untuk memastikan pembukaan lahan dengan cara bakar dilakukan sesuai aturan. “Penetapan izin itu bisa diberikan atau tidak, tentu harus didasari perda kabupaten atau kota,” katanya.

Namun, pengakuan Toyib justru memperlihatkan ketertinggalan daerah.
“Dari surat di tahun 2021 itu, mungkin sampai 2025 masih sebagian besar belum selesai,” ujarnya.

Keterlambatan ini menunjukkan lemahnya koordinasi antarinstansi. Penyusunan peta melibatkan DLH kabupaten/kota, DLH Kalteng, dan Dinas Kehutanan Kalteng, namun hasilnya belum konkret. Artinya, selama dokumen dasar belum tersedia, wacana kearifan lokal hanya menjadi tameng administratif tanpa arah pelaksanaan.

Program berbasis adat memang penting, namun tanpa pengawasan dan batas tegas, ia bisa berubah menjadi pembenaran atas praktik lama yang justru memicu kebakaran. Di tengah ancaman kabut asap tahunan, publik menanti bukti nyata, bukan sekadar seruan agar peta selesai “sebelum akhir tahun”.

Kearifan lokal tidak boleh berhenti pada peraturan dan pidato, tetapi mesti dibuktikan lewat tata kelola lahan yang transparan dan partisipatif bukan lewat kebijakan yang rawan disalahgunakan. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com