PALANGKA RAYA – Musim hujan seharusnya membawa kabar baik bagi warga Kalimantan Tengah, terutama Palangka Raya. Namun, kenyataannya berbeda. Api belum sepenuhnya padam. Hingga pertengahan Oktober 2025, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus muncul di beberapa wilayah kota, seolah menunjukkan bahwa kebijakan mitigasi bencana belum menyentuh akar persoalan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Palangka Raya mencatat masih terjadi 15 kasus karhutla sepanjang Oktober, bahkan ketika hujan mulai turun. Kepala Pusdalops-PB BPBD Palangka Raya, Balap, mengatakan, kebakaran tersebut tersebar di beberapa kelurahan seperti Bukit Tunggal dan Petuk Ketimpun.
“Yang pasti, tim BPBD selalu siaga, baik dalam kondisi karhutla maupun musim hujan,” ujarnya, Kamis (16/10/2025).
Sepanjang 2025, BPBD mencatat 150 kejadian karhutla dengan luas lahan terbakar mencapai 47,35 hektare. Kecamatan Jekan Raya menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, yakni 97 kejadian, disusul Sebangau 29, Pahandut 10, dan Bukit Batu 4. Sementara Kecamatan Rakumpit menjadi satu-satunya wilayah yang nihil kebakaran.
Ironisnya, angka tersebut muncul di tengah gencarnya kampanye pemerintah soal “kesiapsiagaan dan mitigasi bencana”. Fakta bahwa kebakaran masih terjadi meski hujan telah turun memperlihatkan lemahnya sistem peringatan dini dan pengawasan lapangan.
Masyarakat Palangka Raya pun mengeluhkan panas ekstrem yang masih terasa beberapa hari terakhir. BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I Tjilik Riwut menjelaskan fenomena ini akibat minimnya tutupan awan, posisi gerak semu matahari, dan pengaruh Monsun Australia yang membawa udara kering.
Prakirawan BMKG Palangka Raya, Ika, menambahkan bahwa secara klimatologis Palangka Raya memang telah memasuki musim hujan, namun suhu permukaan yang tinggi membuat potensi kebakaran masih ada.
Masalahnya, siaga bencana tidak cukup dengan slogan “BPBD selalu siap.” Tanpa pengawasan ketat terhadap aktivitas pembakaran lahan dan sistem deteksi dini berbasis komunitas, siaga hanya menjadi rutinitas tahunan yang menunggu api datang.
Selain itu, pola respons yang selalu menunggu laporan warga memperlihatkan lemahnya inisiatif lapangan. Nomor darurat 112 memang tersedia, tapi apa gunanya jika patroli dan pencegahan belum berjalan optimal?
Kondisi ini mengingatkan kembali pada ironi klasik Kalimantan Tengah: setiap tahun bicara antisipasi, tapi setiap tahun pula lahan terbakar. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan