Sorgum Kutim Tumbuh, tapi Tak Terjual

KUTAI TIMUR – Upaya Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) mengembangkan sorgum sebagai sumber pangan alternatif ternyata belum menunjukkan hasil menggembirakan. Program yang mulai dijalankan sejak 2022 itu kini mandek, setelah hasil panen petani tak terserap pasar dan tanpa dukungan industri pengolahan.

Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) Kutim, Dyah Ratnaningrum, menjelaskan, penanaman sorgum sempat dilakukan di dua kecamatan, yakni Bengalon dan Rantau Pulung. Program ini merupakan tindak lanjut dari gerakan nasional Kementerian Pertanian yang mendorong daerah memperkuat ketahanan pangan melalui diversifikasi karbohidrat pascakonflik Rusia–Ukraina.

“Pemerintah pusat waktu itu menyerukan ‘ayo tanam sorgum’ secara masif. Nah, Kutai Timur sempat mencoba tanam sorgum. Tapi saat panen, tidak ada yang beli,” ungkap Dyah, Kamis (16/10/2025).

Menurut Dyah, semangat petani sempat tinggi di awal pelaksanaan program. Bahkan, Bupati Kutim ketika itu ikut hadir dalam tanam perdana. Namun, antusiasme tersebut perlahan memudar karena janji pembelian hasil panen tidak terealisasi.

“Awalnya ada pihak yang janji mau beli hasil panen. Tapi ternyata cuma sekali saja. Setelah itu tidak ada lagi pembeli,” ujarnya.

Selain persoalan pasar, Dyah juga menyoroti tantangan dari sisi konsumsi masyarakat. Menurutnya, minat masyarakat untuk mengonsumsi sorgum masih sangat rendah, padahal tanaman ini bisa menjadi pengganti nasi atau jagung dengan kandungan gizi tinggi.

“Padahal kalau dari sisi lahan dan kesuburan, Kutim sangat mendukung. Tanah kita bagus, apa saja bisa tumbuh termasuk sorgum,” tuturnya.

DTPHP menilai, dengan dukungan pasar dan investor, sorgum tetap berpotensi dikembangkan kembali di masa mendatang. Namun, diperlukan strategi menyeluruh agar rantai produksi hingga distribusi tidak berhenti di tengah jalan seperti sebelumnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Kutim, Mahyunadi, menilai sorgum memiliki nilai ekonomi cukup menarik karena bisa dipanen tiga kali setahun dan menghasilkan gula coklat alami. Namun, ia mengakui bahwa tanpa sarana pendukung seperti pabrik pengolahan, pengembangan sorgum sulit berjalan optimal.

“Potensinya luar biasa, tapi sarana penunjangnya belum ada di Kutim. Kalau di Jawa, orang tanam sorgum karena ada pabriknya. Kalau di sini belum ada, ya orang bingung mau jual ke mana,” ujarnya.

Mahyunadi menambahkan, sebelum mengembangkan sorgum secara luas, pemerintah perlu melakukan kajian ekonomi yang matang.

“Kalau hasilnya lebih kecil dari sawit, ya petani pasti tidak tertarik. Tapi kalau memang menjanjikan, baru kita carikan investor dan dukungan agar bisa dikembangkan bersama petani,” pungkasnya.

Kisah mandeknya program sorgum di Kutim menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal menanam, tetapi juga memastikan ada pasar, industri, dan konsumsi yang menopang keberlanjutannya. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com