JAKARTA — Data yang dirilis PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengungkap fakta mengejutkan: sepanjang Januari hingga Oktober 2025 tercatat 36 kasus pelecehan seksual terjadi di kereta api. Ironisnya, sebagian besar terjadi di layanan KRL yang setiap hari dipenuhi penumpang. Fenomena ini kembali menegaskan bahwa ruang publik, bahkan yang diawasi sistem ketat sekalipun, belum benar-benar aman bagi perempuan.
“Dari total laporan tersebut, 33 kejadian terjadi di layanan KA Commuter Line, sedangkan tiga kejadian terjadi di KAJJ (Kereta Api Jarak Jauh),” kata Manager Humas PT KAI Daop 1 Jakarta, Ixfan Hendriwintoko, dilansir Antara, Senin (20/10/2025).
Ixfan menyebut angka ini menjadi pengingat bahwa kesadaran publik terhadap etika dan keselamatan bersama masih lemah. Namun, publik justru menilai bahwa pernyataan ini cenderung normatif. Banyak pihak mempertanyakan langkah konkret KAI dalam melindungi penumpang, bukan hanya mengimbau dan memberi edukasi setelah kasus mencuat.
Untuk meredam kritik, KAI mencoba menggandeng komunitas pecinta kereta seperti Train Photograph dan Jejak Railfans dalam sosialisasi antipelecehan. Kegiatan dilakukan di sejumlah stasiun, termasuk Stasiun Jatinegara pada Sabtu (18/10). Dalam kegiatan itu, penumpang diberi edukasi tentang bentuk pelecehan, cara mencegah, hingga mekanisme pelaporan cepat.
Namun, langkah ini dianggap belum menyentuh akar persoalan. Banyak korban yang memilih diam karena tak percaya laporan mereka ditindaklanjuti. Situasi di dalam KRL yang padat dan minim petugas keamanan membuat tindakan pelecehan sering luput dari penegakan hukum.
“Pelanggan yang mengalami atau menyaksikan tindakan pelecehan dapat segera melapor kepada petugas di stasiun, di atas kereta, melalui Contact Center KAI 121 atau dengan meminta bantuan kepada penumpang lainnya,” kata Ixfan.
KAI menegaskan tak akan menoleransi pelaku. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pelaku akan dimasukkan daftar hitam (blacklist) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK)-nya diblokir, sehingga tak bisa lagi menggunakan layanan kereta.
Meski terdengar tegas, kebijakan ini justru menimbulkan pertanyaan: bagaimana cara KAI memastikan identitas pelaku di lapangan, sementara banyak kasus terjadi di kerumunan tanpa bukti visual memadai?
“Transportasi publik harus menjadi ruang aman bagi semua kalangan. Tidak boleh ada rasa takut dan tidak boleh ada pembiaran. Kita semua memiliki tanggung jawab bersama untuk mencegah dan menindak segala bentuk pelecehan,” ujar Ixfan.
Pernyataan itu benar, tetapi publik menuntut bukti nyata. Keamanan di transportasi publik tidak bisa hanya bergantung pada moral penumpang, melainkan pada sistem pengawasan dan penegakan yang tegas. Selama CCTV minim, petugas keamanan terbatas, dan laporan tak ditindak cepat, sosialisasi hanyalah formalitas tanpa hasil. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan