KOTAWARINGIN TIMUR – Dua kisah kelam kembali mengemuka dari Kota Sampit. Di tengah upaya keras aparat memberantas narkoba, dua warga dari latar berbeda justru terjerat dalam bisnis haram yang terus merusak sendi sosial masyarakat. Ironinya, salah satu pelaku adalah seorang janda berusia 34 tahun berinisial M, warga Kelurahan Baamang Hilir, Kecamatan Baamang, yang mengaku terpaksa menjadi pengedar sabu karena tekanan ekonomi.
Namun, alasan ekonomi seolah sudah menjadi pembenaran klasik yang terus terulang, padahal dampaknya jauh lebih luas: keluarga hancur, lingkungan rusak, dan generasi muda kehilangan arah.
Penangkapan M dilakukan oleh Satresnarkoba Polres Kotawaringin Timur (Kotim) di rumahnya di Jalan Mandomai No. 25, RT 012 RW 004, pada 14 Oktober 2025 sekitar pukul 10.00 WIB. Dari tangan pelaku, polisi menyita 13 paket sabu seberat 4,39 gram, sebuah dompet kecil, sedotan, handphone, dan uang tunai Rp1 juta yang diduga hasil penjualan.
Kasat Narkoba Polres Kotim, AKP Suherman, membenarkan penangkapan tersebut. “Pelaku ini kami tangkap berdasarkan laporan masyarakat yang menyebutkan sering ada transaksi sabu di sekitar rumahnya. Setelah dilakukan penyelidikan, pelaku kami amankan berikut barang buktinya,” ujarnya, Minggu (19/10/2025).
M dijerat dengan Pasal 114 ayat (1) atau Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hukum akan menunggu, namun yang patut dipertanyakan adalah mengapa ekonomi di lapisan bawah masih begitu rapuh hingga sebagian warga rela menggadaikan masa depannya dengan sabu?
Tak berselang lama dari kasus itu, polisi juga menangkap pria berusia 51 tahun bernama A alias Ateng, di sebuah barak belakang eks Golden, Jalan D.I Panjaitan, Gang Tiung, Kelurahan Mentawa Baru Hulu, Kecamatan MB Ketapang, pada 11 Oktober 2025.
Berdasarkan pemeriksaan, A tidak tamat SMP, namun dikenal sering bertransaksi sabu di sekitar tempat tinggalnya. Dari tangan pelaku, polisi menyita 17 paket klip sabu seberat 7,30 gram, timbangan digital, plastik klip, dan sedotan. “Berdasarkan laporan masyarakat, A kerap menjual sabu di sekitar tempat tinggalnya. Setelah dilakukan pengembangan, A berhasil ditangkap dengan barang bukti 17 paket sabu seberat 7,30 gram,” jelas AKP Suherman.
Kedua kasus ini menunjukkan bahwa bisnis sabu di Sampit bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga persoalan sosial dan ekonomi. Ketika kebutuhan hidup tak terpenuhi dan kesempatan kerja sempit, narkoba menjadi jalan pintas yang menipu: cepat menghasilkan, tapi mematikan.
Penegakan hukum memang penting, namun tanpa pendekatan ekonomi dan sosial yang lebih kuat, perang terhadap narkoba hanya akan menjadi siklus tanpa akhir di mana pelaku kecil terus ditangkap, sementara jaringan besar tetap beroperasi di bayang-bayang. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan