PHNOM PENH — Penangkapan 86 warga negara Indonesia (WNI) di Kamboja kembali membuka borok lama tentang lemahnya perlindungan tenaga kerja migran dan kegagalan pemerintah dalam mencegah praktik perekrutan ilegal yang berujung eksploitasi. Mereka ditangkap polisi di Kota Chrey Thum, Provinsi Kandal, setelah berontak dan melarikan diri dari perusahaan penipuan daring (online scam) yang mempekerjakan mereka secara tidak manusiawi.
Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha, menjelaskan bahwa kerusuhan itu terjadi pada 17 Oktober lalu. “Dapat kami sampaikan dari 97 WNI yang terlibat dari kerusuhan tersebut, 86 saat ini berada di kantor polisi Kota Chrey Thum, dan kemudian 11 orang dirawat di rumah sakit,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Meski Judha memastikan 11 WNI yang dirawat tidak dalam kondisi mengancam, fakta bahwa puluhan warga Indonesia harus mengalami kekerasan dan penahanan di luar negeri menunjukkan ada persoalan serius dalam sistem perlindungan tenaga kerja Indonesia. Pemerintah seolah baru bertindak setelah situasi memburuk, bukan mencegah sebelum warga menjadi korban sindikat penipuan lintas negara.
Kementerian Luar Negeri menyebut Kedutaan Besar RI (KBRI) di Phnom Penh telah memberikan bantuan logistik, makanan, hingga kebutuhan dasar bagi para WNI tersebut. Namun langkah-langkah ini terasa reaktif, bukan preventif. “Dan kemudian selanjutnya kita akan berupaya berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk pendampingan hukum bagi mereka, termasuk kita mengupayakan agar mereka bisa dipulangkan ke Indonesia,” kata Judha.
Ironinya, dari 86 orang yang ditahan, empat WNI justru menjadi tersangka karena diduga melakukan kekerasan terhadap sesama rekan senasib. “Dari 86 itu, 4 di antaranya sedang ditahan di kantor polisi karena berdasarkan hasil penyelidikan, mereka lah yang melakukan kekerasan, yang diduga kekerasan itu dilakukan kepada WNI yang lain,” tutur Judha.
Peristiwa ini bukan yang pertama. Kerusuhan serupa terjadi pada 4 Oktober lalu di Provinsi Sihanouk Preah, juga di perusahaan online scam, hanya saja saat itu tidak melibatkan WNI. Fenomena ini mengungkap fakta kelam: ribuan warga Indonesia masih terjerat dalam jaringan kejahatan digital lintas negara, seringkali dengan modus perekrutan kerja palsu.
Kementerian Luar Negeri mencatat lebih dari 10.000 WNI telah terlibat dalam kasus online scam sejak 2020 di 10 negara, banyak di antaranya menjadi korban perdagangan manusia atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Namun, pengakuan Judha berikut ini mengundang kritik: “Tidak semua dari 10 ribu itu merupakan korban TPPO.”
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah negara sedang berusaha cuci tangan dengan menyebut sebagian WNI berangkat secara sukarela? Faktanya, banyak korban tergiur janji pekerjaan dan gaji tinggi tanpa memahami risiko yang mereka hadapi.
Alih-alih hanya menegaskan “upaya koordinasi terus kita lakukan dengan aparat penegak hukum,” publik menuntut tindakan nyata: penindakan tegas terhadap agen-agen perekrut di dalam negeri yang menjerumuskan warga ke jebakan kerja ilegal, serta diplomasi kuat agar korban tidak terus diperlakukan sebagai pelaku.
Kasus ini menjadi cermin pahit dari lemahnya kontrol negara terhadap mobilitas warganya, di tengah maraknya kejahatan siber yang menelan korban lintas batas. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan