PALANGKA RAYA – Di tengah sorotan publik terhadap lemahnya pengawasan lingkungan, langkah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalimantan Tengah terhadap PT Workshop (WS 88) justru menimbulkan tanda tanya. Perusahaan jasa pertambangan yang beroperasi di Desa Patas I, Kabupaten Barito Selatan ini diketahui menjalankan aktivitas hauling, pengolahan (crushing), dan penumpukan batubara tanpa dapat menunjukkan dokumen legalitas dasar seperti izin usaha, dokumen lingkungan, maupun persetujuan teknis terkait limbah B3.
Namun ironisnya, meski pelanggaran administratif tampak jelas, DLH Kalteng masih tampak berhati-hati dan cenderung lamban dalam penegakan hukum. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) DLH Kalteng, Yogi Baskara, menjelaskan bahwa proses penyusunan sanksi terhadap perusahaan masih berlangsung.
“Untuk sekarang sedang dalam proses penyusunan sanksi administratif,” ujar Yogi, Selasa (21/10/2025).
Keterangan tersebut menimbulkan kritik, sebab DLH seolah tidak menunjukkan ketegasan dalam menangani pelanggaran yang berpotensi merusak lingkungan. Yogi berdalih bahwa penyusunan sanksi memerlukan waktu karena harus mempertimbangkan berbagai bidang di internal DLH.
“Proses ini memerlukan pertimbangan dari bidang-bidang terkait, terutama soal jangka waktu pemenuhan yang akan dipersyaratkan dalam sanksi administratif,” jelasnya.
Padahal, publik menilai, ketidaktegasan semacam ini justru membuka ruang bagi perusahaan untuk terus beroperasi tanpa dasar hukum yang jelas. Di sisi lain, DLH menargetkan penyusunan sanksi administratif rampung pertengahan November. “Targetnya, pertengahan November sanksi administratif sudah keluar,” tambah Yogi.
Sayangnya, target bukan jaminan kepastian. Dengan alasan “prinsip ultimum remedium”, DLH Kalteng mengedepankan sanksi administratif sebelum pidana dijatuhkan. Prinsip tersebut memang diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2021, tetapi dalam praktiknya sering dimanfaatkan pelaku usaha untuk mengulur waktu dan menghindari hukuman berat. “Sanksi administratif didahulukan, baru pidana menjadi jalan terakhir,” terangnya.
DLH juga menegaskan, bila perusahaan tetap tidak mematuhi sanksi, kasus akan dinaikkan ke ranah pidana dengan ancaman denda hingga Rp1 miliar dan kurungan penjara. “Kalau tidak dipatuhi, bisa berlanjut ke pidana, dengan ancaman kurungan dan denda hingga Rp1 miliar,” tegas Yogi.
Namun, fakta bahwa penyidik internal DLH masih “menyusun sanksi” meski bukti pelanggaran sudah ada, menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan di daerah ini masih jauh dari tegas. “Semua proses ada di DLH. Nanti kalau berkas sudah lengkap, baru dilimpahkan ke Kejati untuk penuntutan,” jelasnya.
Yogi menambahkan, surat keputusan sanksi administratif nantinya akan diterbitkan oleh Kepala DLH Kalteng atas dasar pendelegasian kewenangan dari Gubernur. “Surat keputusan sanksi administratif akan ditandatangani langsung oleh Kepala Dinas atas dasar pendelegasian kewenangan dari Gubernur,” tutupnya.
Sementara itu, publik berharap agar DLH tidak berhenti pada tataran administratif semata. Jika pemerintah daerah serius menjaga kelestarian lingkungan, maka langkah konkret dan transparan perlu segera ditunjukkan. Sebab, kelambanan dalam penegakan hukum hanya akan memperburuk citra pengawasan lingkungan di Kalimantan Tengah yang selama ini kerap dipertanyakan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan