BANJARMASIN — Program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah untuk meningkatkan gizi pelajar justru kembali menuai sorotan tajam. Setelah kasus serupa di Kabupaten Banjar, kini puluhan siswa SMPN 33 Banjarmasin mengalami gejala mirip keracunan usai menyantap menu MBG, membuat kepercayaan publik terhadap program tersebut semakin tergerus.
Belum ada hasil uji laboratorium yang memastikan penyebab pasti, namun para orangtua murid sudah kehilangan kesabaran. “Setop saja karena kejadian seperti ini membuat khawatir kami selaku orangtua,” tegas Novi, wali murid SMPN 33 Banjarmasin, Selasa (21/10/2025). Nada kecewa itu menggambarkan keresahan masyarakat yang mulai mempertanyakan kelayakan pelaksanaan program pangan nasional ini.
Puluhan wali murid mendatangi sekolah di Jalan Purnasakti, Kompleks Permata Sari, Kelurahan Basirih, Kecamatan Banjarmasin Barat. Sebagian langsung menuju Puskesmas Basirih Baru setelah mendapat kabar anak-anak mereka mengalami sakit perut, mual, hingga lemas. “Alhamdulillahnya aman anak,” ujar Heni, wali murid yang sempat panik ketika mendengar kabar bahwa beberapa siswa dibawa ke puskesmas.
Pihak sekolah segera mengevakuasi siswa yang mengeluh ke fasilitas kesehatan. Gejala umumnya muncul sejak Senin malam (20/10/2025), membuat program MBG di sekolah itu dihentikan sementara pada keesokan harinya. Ironisnya, peristiwa ini bukan kali pertama terjadi. Kasus serupa sebelumnya menimpa 134 pelajar dari 12 sekolah di Martapura, Kabupaten Banjar, pada 29 September 2025. Hasil uji dari Dinas Kesehatan Banjar bahkan menemukan bakteri berbahaya dalam makanan dan air di dapur penyedia MBG milik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Tungkaran.
Masalah mendasar tampaknya bukan hanya soal menu, tetapi sistem pengawasan dan kelayakan dapur MBG yang amburadul. Fakta mengejutkan: tak satu pun dari SPPG di Banjarmasin memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), dokumen wajib yang menjamin makanan diolah secara higienis dan aman dikonsumsi.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, M. Ramadhan, mengakui hal itu. Ia berdalih, proses penerbitan SLHS masih dalam tahap persiapan. “Pelatihan ini penting karena latar belakang para petugas berbeda-beda. Mereka harus memahami prinsip higienitas dan gizi seimbang sebelum mengolah makanan untuk anak-anak,” katanya di Puskesmas Basirih Baru, Selasa.
Dari seribu petugas dapur di seluruh SPPG, baru sekitar seratus orang yang mengikuti pelatihan langsung. Sisanya masih dijadwalkan pelatihan daring sebuah kebijakan yang dinilai lamban dan berisiko bagi ribuan pelajar yang setiap hari mengonsumsi makanan MBG. Padahal, anak-anak bukan kelinci percobaan dalam proyek politik pangan.
Ramadhan menambahkan, penerbitan SLHS berada di bawah kewenangan dinas perizinan, sedangkan Dinas Kesehatan hanya memberikan rekomendasi kelayakan setelah survei lapangan. Namun, publik menilai alasan birokratis itu tak cukup membenarkan kelalaian. “Begitu administrasi SPPG lengkap dan izin keluar, kami siap turun melakukan pengecekan ke lapangan,” ujarnya.
Faktanya, hingga kini belum ada satu pun dapur MBG di Banjarmasin yang memenuhi seluruh syarat kebersihan dan sanitasi sesuai aturan pemerintah. Program yang seharusnya menyehatkan generasi muda malah menjadi sumber kekhawatiran baru bagi orangtua.
Jika pemerintah tak segera membenahi sistem pengawasan, maka MBG bukan lagi makan bergizi gratis, melainkan makan berisiko gratis. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan