NUNUKAN — Asap kembali menutupi langit Nunukan. Kobaran api yang melahap sekitar 1,5 hektare lahan di Kelurahan Mansapa, Kecamatan Nunukan Selatan, Selasa (21/10/2025), menambah daftar panjang kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang seolah tak pernah berakhir di wilayah Kalimantan Utara. Setiap tahun, cerita yang sama berulang: lahan terbakar, udara tercemar, dan masyarakat menjadi korban sementara pelaku pembakar lahan jarang benar-benar tersentuh hukum.
Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nunukan mengaku sudah berupaya maksimal. “Begitu menerima laporan dari personel patroli, tim langsung bergerak cepat menuju lokasi untuk memastikan kondisi kebakaran,” ujar Kabid Informasi BPBD Nunukan, Basir. Namun pertanyaan kritis pun muncul: jika patroli rutin dilakukan, mengapa kebakaran baru terdeteksi ketika api sudah membesar? Apakah pengawasan di lapangan hanya sebatas formalitas tanpa pencegahan nyata?
Lokasi kebakaran yang hanya berjarak 15 menit dari markas BPBD seharusnya bisa dijangkau lebih cepat. Tapi ketika tim tiba, api sudah meluas di lahan semak kering. Dugaan kuat mengarah pada aktivitas pembukaan lahan secara ilegal. “Ada sisa-sisa pembakaran di beberapa titik. Ini kuat dugaan karena dibakar untuk membuka lahan pertanian,” kata Basir. Dugaan yang sama berulang kali terdengar setiap kali karhutla terjadi, namun sangat jarang berujung pada penangkapan pelaku.
Dalam operasi pemadaman kali ini, BPBD mengerahkan 22 personel dibantu empat anggota TNI AL dengan metode ground fire attack dan penyekatan. Beragam peralatan dari truk suplai air hingga pompa portable diturunkan. Api baru bisa dikendalikan setelah 30 menit. Namun yang patut disoroti bukan seberapa cepat pemadaman dilakukan, melainkan mengapa kebakaran bisa terus terjadi di titik-titik yang sama setiap tahun.
Kondisi vegetasi kering dan angin kencang memang mempercepat penyebaran api, tetapi akar masalah tetap sama: pembiaran dan lemahnya penegakan hukum. Masyarakat seolah tidak jera karena sanksi bagi pembakar lahan lebih sering berhenti di ancaman lisan ketimbang proses hukum. “Kami tegaskan, pembukaan lahan dengan cara membakar adalah pelanggaran hukum. Jika ditemukan pelakunya, akan diproses sesuai aturan yang berlaku,” ujar Basir. Namun publik tahu, janji itu sudah menjadi kalimat klise setiap musim kemarau datang.
Ironisnya, setiap kali karhutla terjadi, pemerintah daerah sibuk mengimbau tanpa memperkuat pencegahan. Padahal, cuaca ekstrem yang kian sering terjadi sudah seharusnya menjadi alarm untuk memperketat pengawasan dan memperbanyak titik siaga. Menunggu api muncul baru bertindak bukan strategi mitigasi, melainkan tanda gagalnya sistem pengawasan lingkungan.
BPBD Nunukan memang kembali mengingatkan warga agar tidak membakar lahan, tidak membuang puntung rokok sembarangan, serta melapor jika melihat asap. Tapi tanpa kontrol ketat dan sanksi nyata, imbauan itu hanya akan menjadi pengulangan pesan moral di tengah udara berasap.
Kebakaran hutan dan lahan bukan sekadar soal lingkungan. Ini soal tanggung jawab. Jika aparat hanya “memadamkan”, tanpa menindak, maka karhutla di Nunukan akan terus jadi rutinitas tahunan membakar hutan, membakar paru-paru, dan membakar kepercayaan publik terhadap negara yang seharusnya melindungi rakyat dan alamnya. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan