Pit 59 Makan Korban, K3 PT SBE Dipertanyakan

BERAU – Kecelakaan kerja kembali menimpa industri pertambangan, kali ini dialami seorang pekerja PT Supra Bara Energi (PT SBE) akibat tanah longsor di Pit 59 area pertambangan perusahaan, Selasa sore (21/10/2025). Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai standar keselamatan kerja yang diterapkan perusahaan, khususnya di area yang dikenal berisiko tinggi.

Korban, Setyo Budi Utomo (43), Foreman Pompa, tertimbun material longsoran saat berada di rumah sumur atau water pump station. Hingga berita ini diturunkan, korban belum ditemukan, sementara pencarian masih dilakukan tim internal perusahaan bersama pekerja lapangan. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran mendalam karena proses evakuasi dan koordinasi keselamatan tampak minim.

Keterangan awal menyebutkan longsor terjadi sebelum hujan turun, sehingga dugaan sementara menyatakan longsor bukan akibat cuaca. Namun, hingga kini, pihak manajemen PT SBE maupun instansi terkait belum memberikan informasi resmi mengenai kronologi kejadian, penyebab longsor, maupun langkah keselamatan pasca-insiden. Ketidakjelasan ini menimbulkan kesan lemahnya tanggung jawab komunikasi perusahaan kepada publik dan keluarga korban.

PT SBE, milik Govinda Shami asal India, beralamat di Jalan Poros No.KM 7, Teluk Bayur, Labanan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur 77315, dan dapat dihubungi di nomor (021) 5261616, telah dihubungi Berita Borneo melalui telepon, tetapi tidak ada jawaban. PT SBE merupakan salah satu tambang batubara terbesar di Kabupaten Berau, dan bahkan meraih PROPER Hijau untuk kinerja lingkungan, menandakan klaim komitmen terhadap praktik pertambangan berkelanjutan. Namun, insiden ini mempertanyakan sejauh mana praktik keselamatan benar-benar ditegakkan di lapangan.

Untuk mencapai lokasi tambang, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dari Tanjung Redeb. Setiap pengunjung wajib izin dan melewati pos pemeriksaan, termasuk menunjukkan kartu identitas. Area tambang dipenuhi aktivitas alat berat yang sibuk mengeruk batubara. Menurut Manager External Affairs PT SBE, Kasan Mulyono, setiap tamu harus memakai perlengkapan keselamatan dan mengikuti induksi tentang potensi bahaya. Namun, pertanyaannya, apakah standar ini benar-benar diterapkan dan diperhatikan setiap hari oleh pekerja yang menghadapi risiko nyata?

Proses penambangan dilakukan oleh PT Sumber Mitra Jaya (SMJ) sebagai kontraktor utama, sementara PT Sucofindo menangani Quality Control Pit-to-Port. Operasi yang dimulai pada 2010 ini meliputi pengangkutan batubara dari lubang tambang ke dermaga, penyimpanan, kontrol kualitas, serta pengiriman ke Muara Pantai, Tarakan, dan Samarinda. Walaupun perusahaan menekankan praktik berkelanjutan, kejadian longsor ini menunjukkan adanya celah serius dalam pengawasan risiko dan mitigasi bencana di lapangan.

Absennya informasi resmi dari manajemen menimbulkan kekhawatiran publik mengenai koordinasi internal dan kesiapan tim tanggap darurat. Pekerja dan keluarga korban menuntut kepastian kronologi lengkap, penyebab longsor, dan langkah evakuasi agar spekulasi tidak merugikan semua pihak.

“Keselamatan pekerja harus menjadi prioritas. Setiap aktivitas pertambangan berisiko tinggi, sehingga prosedur pencegahan dan tanggap darurat harus benar-benar dipastikan,” ujar seorang pengamat pertambangan yang enggan disebutkan namanya.

Insiden ini menjadi peringatan keras bagi seluruh industri pertambangan di Berau agar meninjau ulang protokol keselamatan dan mitigasi bencana, terutama di area rawan longsor. Tanpa langkah tegas, risiko pekerja tetap tinggi, dan klaim keberlanjutan perusahaan akan kehilangan kredibilitas. []

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com