Dari Impian ke Neraka Online Scam

PHNOM PENH – Ratusan warga negara Indonesia (WNI) kembali menjadi korban tragedi tenaga kerja di luar negeri. Pada Kamis (23/10/2025), KBRI Phnom Penh melaporkan setidaknya 110 WNI terlibat kericuhan saat berusaha melarikan diri dari jaringan perusahaan penipuan online di Kota Chrey Thum, Kamboja. Separuh dari mereka kini dijadwalkan untuk dipulangkan ke Tanah Air.

Kericuhan yang terjadi pada 17 Oktober 2025 itu menyoroti kembali lemahnya sistem perlindungan pemerintah terhadap WNI di luar negeri. Padahal, praktik perdagangan orang berkedok pekerjaan bergaji tinggi di sektor online scam telah lama diketahui. Namun, langkah preventif dari otoritas Indonesia masih sebatas koordinasi dan reaksi setelah korban berjatuhan.

“Sejak 17 Oktober 2025, KBRI Phnom Penh terus berkoordinasi dengan Kepolisian Kamboja dan pihak terkait setelah menerima laporan kericuhan yang melibatkan WNI di Kota Chrey Thum, Provinsi Kandal,” tulis pihak KBRI Phnom Penh melalui akun Instagram resminya, Rabu (22/10/2025).

Sebanyak 110 WNI kini diamankan di Detensi Imigrasi Preak Pnov, Phnom Penh, untuk proses pendataan dan pemulangan. Dari jumlah itu, 67 orang dijadwalkan pulang ke Indonesia pada 22–24 Oktober 2025. Namun, pertanyaannya: sampai kapan evakuasi demi evakuasi harus menjadi pola penanganan utama tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya?

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengungkapkan fakta yang lebih mengkhawatirkan: sejak 2020 hingga kini, lebih dari 10.000 WNI terlibat dalam praktik online scam di 10 negara berbeda. Sekitar 1.500 di antaranya adalah korban perdagangan orang (TPPO). “Korban TPPO-nya di Indonesia mendapatkan tawaran iming-iming pekerjaan ke luar negeri. Biasanya sebagai customer service atau marketing dengan gaji antara USD 1.000 sampai 1.200,” kata Judha pada Senin (20/10/2025).

Ironinya, sebagian WNI justru sadar bekerja di jaringan penipuan online karena tergiur gaji besar, dan kini terancam pidana di luar negeri. Fenomena ini memperlihatkan rapuhnya literasi digital, lemahnya perlindungan migran, dan gagalnya pemerintah mencegah eksploitasi lintas negara.

Masalah ini bukan lagi sekadar soal penyelamatan, tetapi kegagalan sistemik dalam pengawasan perekrutan tenaga kerja dan minimnya kerja sama lintas lembaga. Selama pemerintah hanya sibuk menjemput korban tanpa membenahi sistem rekrutmen ilegal di dalam negeri, kasus seperti ini hanya akan terulang.

Dari Kamboja hingga Myanmar, kisah WNI tertipu oleh “lowongan palsu” menjadi potret nyata ketidakberdayaan negara melindungi warganya dari jeratan modern slavery digital. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com