MOSKOW – Kecaman keras kembali dilontarkan dari Moskow. Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, menuding Amerika Serikat (AS) telah melampaui batas diplomasi dengan menjatuhkan sanksi baru terhadap sektor minyak Rusia. Ia bahkan menyebut langkah tersebut sebagai “tindakan perang.” Dalam pernyataan tajamnya, Medvedev berkata, “AS adalah musuh kami, dan ‘pembawa damai’ yang cerewet itu kini benar-benar menempuh jalan perang melawan Rusia,” ucapnya, Kamis (23/10/2025).
Medvedev, yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia sekaligus sekutu dekat Presiden Vladimir Putin, menilai keputusan Washington menandai babak baru dalam eskalasi global. “Keputusan yang diambil adalah tindakan perang terhadap Rusia. Kini Trump sepenuhnya berpihak pada Eropa yang gila,” ujarnya dengan nada penuh sindiran terhadap Presiden AS Donald Trump.
Langkah Trump yang menjatuhkan sanksi terhadap dua raksasa minyak Rusia, Rosneft dan Lukoil, memicu gejolak di pasar energi internasional. Kebijakan tersebut diumumkan oleh Kementerian Keuangan AS pada Rabu (22/10/2025), dan hanya sehari berselang, harga minyak dunia melonjak lebih dari 3 persen. Keputusan ini tak hanya mengguncang pasar, tetapi juga menciptakan ketegangan geopolitik baru antara Moskow dan Washington.
India, salah satu pembeli terbesar minyak Rusia, kini berada dalam posisi sulit. Kebijakan Trump turut memicu kekhawatiran di New Delhi karena India berpotensi terkena dampak sanksi sekunder dari AS. Uni Eropa pun ikut dalam arus tekanan terhadap Moskow, dengan meluncurkan paket sanksi tambahan yang menargetkan armada kapal tanker bayangan dan melarang impor gas alam cair dari Rusia. Namun, kebijakan tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar: apakah Barat benar-benar menginginkan perdamaian, atau hanya berupaya melumpuhkan ekonomi Rusia secara sistematis?
Langkah sanksi yang disebut-sebut untuk “menekan Putin agar bernegosiasi” ini justru dipandang oleh banyak pengamat sebagai strategi ekonomi agresif yang berpotensi memperluas konflik. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Rusia menilai langkah Washington sebagai tindakan “kontraproduktif terhadap upaya perdamaian.” Rusia menegaskan, sanksi tersebut tidak akan mengubah tujuan mereka di Ukraina.
Meski ekonomi Rusia menunjukkan tekanan, dengan pendapatan dari sektor minyak dan gas turun sekitar 21 persen dibanding tahun sebelumnya, pemerintah Rusia tetap bergantung pada energi fosil untuk menopang mesin perangnya. Ironisnya, sebagian besar pendapatan negara bukan berasal dari ekspor yang terkena sanksi langsung, melainkan dari pajak produksi domestik sebuah celah yang membuat dampak sanksi AS tidak sepenuhnya menghantam Moskow.
Kementerian Keuangan AS memberi tenggat waktu hingga 21 November bagi perusahaan-perusahaan global untuk menghentikan transaksi dengan produsen minyak Rusia. Namun, banyak analis menilai kebijakan ini bisa menjadi bumerang. Dengan tekanan sanksi sekunder, Rusia mungkin terpaksa menjual minyaknya lebih murah, tetapi jika harga minyak dunia tetap tinggi, Moskow tetap diuntungkan.
Sanksi yang dimaksudkan untuk “menyerang ekonomi” Rusia justru bisa memperkuat posisi Kremlin di pasar global. Dunia kini terjebak dalam ironi politik: satu negara bicara perdamaian sambil memutar tuas ekonomi perang, sementara yang lain bertahan dengan kekuatan energi yang terus menyalakan mesin konflik. Jika diplomasi berubah menjadi alat tekanan ekonomi, maka pertanyaan besar muncul siapa sebenarnya yang sedang berperang? []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan