NUNUKAN — Gelombang pemulangan pekerja migran terus berlangsung di Kabupaten Nunukan. Hingga September 2025, Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DSP3A) Nunukan mencatat sedikitnya 38 orang terlantar telah dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Mereka sebagian besar merupakan pekerja migran ilegal dan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dideportasi melalui perbatasan Malaysia-Indonesia.
Kepala DSP3A Nunukan, Faridah Ariyani, mengungkapkan bahwa mereka datang ke Nunukan dengan harapan memperbaiki nasib, namun justru berakhir menjadi korban eksploitasi.
“Karena terlantar di Nunukan, pemerintah kabupaten berupaya memulangkan mereka ke kampung halamannya,” ujar Faridah, Sabtu (25/10/2025).
Menurutnya, negara tidak bisa menutup mata terhadap nasib para pekerja migran tersebut. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial mengamanatkan tanggung jawab negara untuk melindungi dan mengurus orang terlantar, termasuk memberikan bantuan dan tempat penampungan sementara sebelum proses pemulangan dilakukan.
Namun, di balik semangat perlindungan itu, pemerintah daerah dihadapkan pada kendala serius dalam pendanaan.
“Kita punya SPM untuk memulangkan orang terlantar, tapi saat ini keterbatasan anggaran menjadi kendala,” kata Faridah.
Nunukan sendiri menjadi jalur vital mobilitas pekerja migran Indonesia dari dan menuju Malaysia. Posisi geografis yang strategis menjadikan wilayah ini kerap menjadi titik transit para pekerja non-prosedural yang gagal menyeberang atau dideportasi.
Kondisi ini mencerminkan problem klasik di wilayah perbatasan: lemahnya pengawasan, keterbatasan lapangan kerja, dan minimnya kesadaran hukum para calon pekerja. Pemerintah pusat pun diharapkan turun tangan untuk memperkuat dukungan anggaran dan kebijakan agar penanganan masalah sosial di perbatasan tidak sepenuhnya dibebankan kepada daerah. []
Admin04
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan