TOKYO – Lonjakan kasus serangan beruang di Jepang menunjukkan tanda krisis lingkungan dan lemahnya antisipasi pemerintah terhadap konflik antara manusia dan satwa liar. Dalam beberapa bulan terakhir, serangan beruang telah menewaskan sedikitnya 10 orang angka tertinggi sepanjang sejarah negeri tersebut. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa Jepang yang dikenal disiplin dan berteknologi tinggi justru kewalahan menghadapi ancaman dari hutan?
Dilansir AFP, Selasa (28/10/2025), seorang pejabat pemerintah Jepang mengungkap bahwa jumlah korban akibat serangan beruang telah melampaui rekor sebelumnya, yakni enam orang pada tahun fiskal yang berakhir Maret 2024. Hewan buas itu kini tidak hanya berkeliaran di pegunungan, tetapi juga menembus kawasan permukiman dan perkotaan. Faktor penurunan populasi manusia di pedesaan, ditambah perubahan iklim yang mengubah ekosistem alami, disebut sebagai penyebab utama meningkatnya interaksi berbahaya ini.
Gubernur Prefektur Akita Utara, Kenta Suzuki, menegaskan bahwa situasi telah berada di luar kendali. Ia secara terbuka meminta pemerintah pusat mengerahkan militer untuk membantu menjaga keselamatan warga. “Nyawa warga kami tidak dapat dilindungi tanpa bantuan Self-Defense Forces (militer),” ujar Suzuki. Ia menambahkan bahwa “serangan yang menargetkan leher dan wajah sangat umum, mengakibatkan situasi yang sungguh mengerikan.”
Keterangan Suzuki menggambarkan betapa seriusnya masalah yang selama ini tampak disepelekan. Alih-alih hanya menunggu laporan korban, pemerintah pusat baru bereaksi setelah tekanan publik meningkat. Menteri Pertahanan Jepang yang baru dilantik, Shinjiro Koizumi, akhirnya menanggapi dengan menyatakan pemerintah akan “memanfaatkan sepenuhnya kemampuan dan wewenang yang ada untuk memulihkan keamanan.” Namun, janji itu terdengar klise di tengah situasi yang telah memakan banyak korban.
Seorang pejabat Kementerian Lingkungan Hidup mengonfirmasi bahwa jumlah korban tewas akibat serangan beruang “telah mencapai 10”. Korban terakhir bahkan ditemukan di desa pegunungan di Akita, bersama tiga orang lainnya yang juga diserang. “Seorang wanita ditemukan tewas pada hari Senin (27/10) di dekat sawah di Akita, sementara seorang pria dan anjingnya ditemukan tewas di wilayah tetangga, Iwate,” tulis laporan media lokal. Keduanya menunjukkan tanda-tanda diserang beruang.
Beruang-beruang kini tidak lagi takut pada manusia. Mereka muncul di dekat sekolah, taman, bahkan toko. Kondisi ini memperlihatkan bahwa batas antara alam liar dan pemukiman manusia semakin kabur. Pemerintah dianggap lalai mengendalikan populasi beruang dan gagal menata kembali kawasan hutan yang menjadi habitat mereka.
Jepang memiliki dua jenis beruang utama: beruang hitam Asia atau beruang bulan, dan beruang cokelat besar yang hidup di pulau Hokkaido. Namun, tanpa kebijakan ekologis yang jelas dan edukasi publik yang memadai, ancaman ini tampaknya akan terus meningkat.
Kasus paling memilukan terjadi dua pekan lalu di Iwate, ketika seekor beruang menewaskan seorang kakek berusia 70-an tahun yang sedang memetik jamur di hutan. “Seorang pria berusia 70-an tahun, yang hilang setelah pergi ke hutan untuk memanen jamur, telah ditemukan tewas,” ujar seorang pejabat kepolisian setempat. “Kami menduga dia diserang beruang, berdasarkan bekas cakaran yang ada.”
Serangkaian insiden ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah Jepang. Ketika militer mulai diminta turun tangan menghadapi hewan liar, itu bukan hanya soal keamanan, tetapi juga kegagalan sistem pengelolaan alam dan masyarakat pedesaan yang semakin terpinggirkan. Negara industri sekelas Jepang seharusnya tidak menunggu hingga warga menjadi korban baru untuk bertindak. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan