BALI – Kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali mencoreng wajah moral generasi muda Indonesia. Seorang pemuda berinisial AD (20) asal Banyuwangi, Jawa Timur, kini duduk di kursi pesakitan setelah terbukti menyetubuhi pacarnya yang masih berusia 15 tahun. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Delia Asyusyara menuntut pelaku dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, sebuah tuntutan yang mencerminkan betapa seriusnya pelanggaran terhadap hukum dan nilai kemanusiaan.
Namun, di balik kasus ini tersimpan luka sosial yang lebih dalam: mengapa hubungan antar-remaja kini sering berujung pada eksploitasi dan pelecehan? Di usia yang seharusnya menjadi masa belajar dan membangun mimpi, seorang gadis belia justru harus menanggung trauma akibat manipulasi orang yang disebut sebagai kekasihnya sendiri.
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,” ujar JPU Putu Delia, Rabu (29/10/2025), di Pengadilan Negeri Denpasar. Pernyataan itu menegaskan bahwa perbuatan AD bukanlah sekadar ‘kesalahan karena cinta’, melainkan kejahatan serius terhadap anak di bawah umur yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
AD diketahui melakukan aksinya di sebuah kamar kos di wilayah Denpasar Timur pada Februari dan Maret 2025. Dalam pengakuan di persidangan, pelaku membujuk korban dengan dalih hubungan asmara alasan klasik yang sering digunakan predator muda untuk menutupi tindakan bejat mereka. Sementara itu, korban NPI (15) kini masih dalam pendampingan psikologis karena mengalami tekanan mental pascakejadian.
Jaksa juga menegaskan, selain tuntutan 12 tahun penjara, pelaku wajib membayar denda Rp 50 juta, dan jika tidak mampu, akan diganti dengan hukuman kurungan selama delapan bulan. “Perbuatan terdakwa diatur dalam Pasal 81 ayat (2) UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,” jelas Putu Delia.
Kasus ini mengingatkan bahwa kejahatan terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang asing, tetapi sering justru oleh mereka yang dikenal dan dipercaya korban. Fenomena ini menunjukkan lemahnya pemahaman generasi muda terhadap batas moral dan hukum, sekaligus menyoroti pentingnya pendidikan seksualitas dan etika dalam lingkungan keluarga serta sekolah.
Ironisnya, banyak pelaku serupa menganggap tindakannya sebagai ‘cinta’, padahal jelas-jelas mengandung unsur kekerasan, bujukan, dan penyalahgunaan kepercayaan. Negara memang bisa menghukum, tetapi luka sosial akibat kerusakan moral seperti ini jauh lebih sulit disembuhkan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan