NEW YORK — Dua nyawa melayang di tengah genangan air yang menenggelamkan sebagian Kota New York. Bukan karena badai besar atau gempa bumi, tetapi akibat banjir yang seharusnya bisa diantisipasi lebih baik oleh kota modern sekelas New York. Dua korban dilaporkan terjebak di ruang bawah tanah, tenggelam perlahan di jantung kota yang dikenal sebagai simbol kemajuan dunia.
Ironi mencuat. Kota yang menjadi pusat keuangan global itu kembali tak berdaya di hadapan hujan deras yang mengguyur pada Kamis (30/10) waktu setempat. Kepolisian New York, seperti dikutip NBC News, Jumat (31/10/2025), melaporkan bahwa satu korban tewas di Brooklyn setelah terjebak di basemen yang terendam banjir, sementara korban kedua, seorang pria 43 tahun, ditemukan tak bernyawa di boiler room di Manhattan.
Dalam insiden pertama, petugas pemadam kebakaran menerima laporan darurat sekitar pukul 16.25 waktu setempat dari seseorang yang terjebak di ruang bawah tanah di kawasan East Flatbush. Korban ditemukan meninggal dunia, meski penyebab pasti kematian masih diselidiki. Tak lama berselang, sekitar pukul 16.44, laporan serupa datang dari Washington Heights, Manhattan. Korban kedua tak tertolong saat ruang tempatnya bekerja terendam air. Identitas keduanya hingga kini belum diungkap.
Kedua tragedi itu terjadi ketika peringatan banjir bandang telah lebih dulu dikeluarkan untuk Brooklyn, Queens, Bronx, dan sebagian Manhattan. Namun lagi-lagi, peringatan datang terlambat dan kesiapsiagaan publik minim. Seolah kota dengan sistem drainase canggih dan teknologi prediksi cuaca termutakhir itu tak pernah belajar dari banjir serupa tahun-tahun sebelumnya.
Badan Cuaca Nasional AS (NWS) mencatat hujan deras mengguyur New York sejak sore hari dengan intensitas antara 2,5 hingga 5 sentimeter per jam, cukup untuk melumpuhkan sistem drainase perkotaan. Sejumlah ruas utama seperti Long Island Expressway di Queens dan Belt Parkway di Brooklyn ditutup total karena tergenang air. Bahkan di kawasan Bedford-Stuyvesant, genangan air menenggelamkan roda mobil, sementara di Bronx, air sudah mencapai pintu kendaraan.
Banjir kali ini bukan hanya bencana alam, tapi juga bencana kebijakan. Dalam kota yang selalu membanggakan “ketahanan urban” dan infrastruktur kelas dunia, dua orang tewas hanya karena terjebak di ruang bawah tanah ruang yang seharusnya aman. Kejadian ini menyoroti lemahnya manajemen risiko iklim dan tata ruang perkotaan di kota yang sering dijadikan contoh oleh dunia.
Kritikus lingkungan menilai tragedi ini sebagai alarm keras bagi New York. “Setiap kali hujan deras turun, kota ini berubah menjadi kolam. Itu bukan karena alam, tapi karena kebijakan,” ujar seorang aktivis lingkungan lokal. Pemerintah kota dinilai lebih sibuk membangun pencakar langit baru ketimbang memperkuat infrastruktur drainase dan sistem peringatan dini di wilayah padat penduduk.
Tragedi dua korban ini, meski tampak kecil di antara berita global lainnya, mencerminkan realitas yang lebih besar: bahkan kota terkaya di dunia tidak kebal terhadap kelalaian. Banjir ini mengingatkan, kemajuan teknologi tanpa kesadaran iklim dan kebijakan publik yang manusiawi hanya akan melahirkan kota rapuh yang tenggelam dalam kesombongannya sendiri. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan